“Anda harus memilih: Nothing to loose atau cinta jabatan.” Kalimat
itu mengalir dari mulut mantan CEO PT. Pertamina yang all out melakukan
pembaruan di eranya. Karena prinsip nothing to loose itulah ia
menggunakan jabatannya untuk menggerakkan perubahan.
Saya
kira yang dilakukan Ari Sumarno, secara kreatif juga tengah dijalankan
oleh Menteri Dahlan Iskan. Kedua CEO ini sama-sama tidak berpikir
jabatan untuk mengimpresi. Mereka sama-sama melihat jabatan hanyalah
titipan untuk menggerakkan orang. Begitu berani mereka bergerak,
memperbaiki yang rusak, membongkar proses dan mencari kebenaran. Dan
kalau ada orang lain yang mencongkel jabatan mereka, dengan senang hati
dan tulus mereka rela dan mudah memberikannya.
Dalam
pekerjaan “memperbaiki yang rusak” itu, mereka akan berhadapan dengan
sejuta kejanggalan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun oleh
bawahan-bawahan mereka. Mengapa hal itu dibiarkan? Jawabnya adalah
conflict of interest dan takut menghadapi risiko. Yang pertama membuat
mereka risih karena diberi kenikmatan oleh pihak lain (publik menyebut
mereka telah “dipelihara” orang kuat). Yang kedua membuat masalah
dibiarkan berlarut-larut.
Namun keduanya sama-sama
dipelihara oleh mereka yang cinta jabatan. Mereka hanya memakai jabatan
untuk mengimpresi. Mereka membiarkan perusahaan atau lembaga yang
dipimpinnya menjadi bank masalah.
Dua Tahun Yang Impresif
Pemimpin
perubahan gerakannya segera tampak sejak hari pertama. Karena menguasai
masalah dan masuknya sudah di tengah jalan, mereka langsung bertindak.
See and Action! Berbeda dengan buku teks yang mengarahkan Anda
memulainya dari selembar kertas dengan membuat rencana, mereka
memulainya dari tindakan.
Karena itulah perbaikan yang
mereka lakukan lebih menekankan pada aspek operasional. Dalam bahasa
strategi inilah yang disebut sebagai Operational Excellence. Namun bagi
Prof. Michael Porter, Operrational Excellence bukanlah strategi. Ia tak
akan bermuara kemana-mana. Itulah sebabnya para doer dan change maker
segera merumuskan strategi jangka panjangnya. Kalau ini sudah terbentuk,
setahun-dua tahun kemudian mau-tidak mau perubahan akan menembus ke
atas, ke arah orang-orang besar, yang terkait dengan kekuasaan dan
hutang-budi kepentingan.
Itulah sebabnya, banyak change
maker hanya mampu optimal melakukan perubahan selama dua tahun pertama.
Memasuki tahun ke tiga mereka mulai tidak diajak bicara oleh layer-layer
di level atas, dilarang bertemu dengan “pemimpin besar” yang dijaga
para mafioso. Fadel Mohammad, Ari Sumarno, Antasari Azhar, Alm. Cacuk
Sudariyanto (Telkom), dan banyak lagi tokoh perubahan mengalami hal
serupa. Setelah itu bisa diduga mereka dicopot dan dari jabatannya.
Padahal dulu “pemimpin besar“ memuja mereka, bahkan pemimpin besar yang
merestui langkah-langkahnya, menstimulasi agar bekerja keras dan memberi
hasil. Akhirnya pemimpin-pemimpin besar yang bodoh hanya memelihara
mereka yang memakai jabatan untuk mengimpresi.
Apa sih
ciri-ciri impression man atau impression woman seperti itu? Beginilah
ciri-cirinya: Mereka berbicara penuh pesona, pekerjaannya hanya
diarahkan untuk menyenangkan atasannya dan gemar beriklan, management
one-level up (satu tingkat ke atas), Output riil-nya tidak ada, tidak
berorientasi pada impact, mengutamakan atasan lebih dari segala-galanya,
leadershipnya tidak 360 drajat, sangat menguasai jabatan dan bila
melakukan kesalahan selalu ditutup dengan kesalahan-kesalahan lain atau
menggunakan kekuatan Public Relations. Kalau belangnya ketahuan, mereka
akan mengawal jabatannya begitu keukeh dengan memakai puluhan lawyer
dan jago-jago Public Relations.
Sebagian orang sangat
mungkin terkecoh. Kami di Universitas Indonesia dan banyak Wartwan saja
bisa terkecoh oleh prestasi pemimpin tertinggi kami di universitas yang
seakan-akan luar biasa. Tetapi waktu akan menemukan kebenaran, karena
mereka yang cinta jabatan hanya memoles prestasinya dengan
kebohongan-kebohongan yang lambat laun sulit ditutupi. Sebaliknya,
pemimpin sejati adalah mereka yang nothing to loose dan fokus pada
penyelesaian masalah, bukan mempertahankan kekuasaan.
PDCA
Akhirnya
saya tutup tulisan ini dengan rumus kemajuan yang sangat dikenal di
kalangan insan PT. Astra International. Rumus ini selalu diingat para
lulusan Astra, yaitu Plan-Do-Check-Action cycle. Tetapi dari ke empat
elemen itu selalu terdapat perbedaan penerapan.
Mereka
berkarakter thinker akan menghabiskan waktu pada aspek planning.
Sedangkan para doer akan fokus pada action. Namun perlu saya tegaskan,
keempat elemen itu harus dijalankan bersamaan. Anda kerjakan, Anda cek
hasilnya, masukkan ke dalam rencana, koreksi, lalu tindak lanjuti.
Kalau
ini Anda lakukan dengan tulus, Anda tidak perlu melakukan perubahan.
Perusahaan otomatis akan tumbuh menjadi besar, adaptif dan sehat. Kalau
tidak ada ketulusan, Anda akan terlibat dalam kesulitan yang Anda buat
sendiri. Anda akan terperangkap dalam “cinta jabatan” dan “takut
kehilangan”. Orang-orang yang tulus akan berani berbuat, berani
berkorban, tidak memerlukan dukun sakti atau “petugas pemadam kebakaran”
karena Anda tak takut kehilangan. Jabatan boleh hilang, tetapi
kehormatan akan menentukan apakah Anda bisa kembali lagi, bounce, atau
pecah.
Happy holiday, selamat merayakan Natal bagi umat
Nasrani. Selamat Tahun Baru bagi kita semua. Tetaplah tulus dan berani
dalam menjalankan amanah
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar