Laman

Minggu, 18 Desember 2011

Mitos Tentang Bakat - Jawapos 12 Desember 2011

Gairah orang tua untuk “menemukan” dan “mengembangkan” bakat anak-anaknya kembali muncul. Kalau dulu dibutuhkan seorang psikolog untuk membaca dan melakukan tes bakat seseorang, kini seakan-akan siapa saja bisa. Bisnis tes bakat melalui metode “finger print” pun kembali marak.

Bisnis ini semakin ramai karena prinsip yang ditawarkan “siapa saja bisa” asalkan dibantu mesin komputer dan scanner sidik jari. Bukan hanya itu bisnis ini juga diwaralabakan dan pembelinya wajib ikut kursus sehingga, ribuan ibu-ibu rumah tangga yang menganggur pun masuk ke dalam circle ini. Saya bahkan mendengar ada juga yang menggunakan metode sidik jari untuk pelatihan-pelatihan manajemen. Tak peduli usianya berapa, setiap orang seakan-akan bisa dibaca atau cocoknya menjadi apa. Lebih menarik lagi, ramalan bakat dari sidik jari itu dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat suci dan tanggal kelahiran (horoscope). Tetapi bukankah bakat itu ada?


Bawaan Lahir atau Kerja Keras?
Dulu saya termasuk orang yang percaya adanya talenta. Bagi saya talenta itu adalah pemberian Tuhan dan ada pada setiap manusia yang dilahirkan. Namun dalam salah satu kitab suci, talenta itu digambarkan sebagai karunia yang dititipkan seorang tuan kepada pegawainya. Ya ibarat modal yang besarnya tidak sama yang diberikan kepada masing-masing orang. Ada yang terima satu keping, lima keping, atau bahkan sepuluh keping.
Nah masalahnya bukanlah pada berapa banyak keping uang logam yang Anda terima, melainkan apa yang akan Anda lakukan dengan diri Anda agar kepingan itu bisa menjadi lebih besar lagi? Bukankah modal itu harus dikembalikan dan diteruskan pada pegawai berikutnya?

Jadi buat apa pusing-pusing meneliti berapa banyak kepingan yang Anda miliki masing-masing? Juga buat apa mengetahui apa jenis kepingan uang logam Anda? Bukankah masing-masing uang logam bisa dipakai untuk berbelanja apa saja asalkan Anda bisa memperbanyaknya lebih dahulu.

Konsep tentang talenta atau bakat pada dasarnya dibangun berdasarkan pandangan bahwa unsur bawaan atau keturunanlah yang menjadi pembentuk keberhasilan. Jadi ada semacam innate ability bukan latihan atau kerja keras yang membentuk seseorang. Namun benarkah demikian?

Sekitar dua tahun yang lalu saya berkunjung ke Austria dan tentu saja saya mendatangi rumah yang dulu ditempati oleh komposer terkenal Wolfgang Amadeus Mozart yang masyur pada abad ke-18. Di kota Salzburg, rumah itu sekarang telah berubah menjadi museum dan banyak didatangi turis mancanegara. Dari gambar-gambar dan keterangan di museum itu saya membaca bahwa “bakat” Mozart sudah tampak pada usia enam tahun.

Pada usia itu, Mozart dan kakaknya Anna Maria sudah menjadi bagian dari sosialita Austria yang berkumpul dengan borjuis Eropa, mempertontonkan bakatnya: piano. Melihat pertunjukkan Mozart setiap orang pasti berdecak kagum dan mengatakan anak ini berbakat. Tetapi benarkah demikian?
Kalau kritis tentu Anda ingin tahu lebih jauh. Saya pun mengalaminya, dan dari dokumen-dokumen di museum itu saya menemukan ternyata pada usia enam tahun Mozart telah menjalani latihan lebih dari 3500 jam sejak usia tiga tahun. Ayahnya sendirilah Leopold Mozart, yang menjadi pelatihnya. Ini sejalan dengan temuan psikolog dari University Exeter. Michael Howl yang menulis semua kajiannya dalam buku Genius Explained. Ia menyimpulkan jenius atau manusia berbakat bukanlah dilahirkan, melainkan dibentuk melalui sejumlah latihan. Jadi Anda sendirilah penemu bakat itu. Andalah yang menjadi penentu bagi masa depan Anda, bukan sidik jari Anda, bukan pula getaran-getaran lain yang bisa dilihat dari jejak sejarah atau desain darah Anda. Anda bisa mulai dari mana saja, dari tidak ada bakat sama sekali.

Kalau Anda masih belum percaya, bukalah kembali sejarah dan pelajari apa yang dilalui orang-orang terkenal. Albert Einstein sejak kecil diramalkan menjadi anak yang bodoh. Ia baru bisa berbicara setelah usia empat tahun dan baru bisa membaca diusia tujuh tahun. Salah seorang pembaca bakatnya pernah mengatakan Ia lemot, lamban berpikir, tidak senang bersosialisasi dan suka berkhayal yang aneh-aneh.

Hal yang serupa juga dialami oleh Charles Darwin, Michael Jordan, Beethoven, dan banyak lagi. Bakat mereka tak pernah dikenal dari alat-alat tes. Bahkan saat-saat pertama berkarya, mereka juga dihina karena menghasilkan karya-karya yang buruk. Michael Jordan dikeluarkan dari tim basket di SMUnya. Charles Darwin diejek orang tuanya sebagai dokter yang bakatnya hanya bisa menyuntik anjing saja. Ia pun berhenti menjadi dokter. Demikian juga Beethoven yang hanya ditertawakan saat bermain biola.

Bakat itu bukanlah sesuatu yang sudah ada pada diri masing-masing manusia, melainkan manusia itu sendiri -yang dibantu orang-orang yang mengasihinya- yang menemukannya melalui latihan dan kerja keras.
Saya bicara seperti ini bukan karena mereka-reka melainkan mengalami sendiri dan didukung oleh bukti-bukti empiris. Saya dibentuk oleh alam melalui proses yang berat sehingga melahirkan kekuatan-kekuatan baru. Dalam buku yang berjudul Myelin Anda bisa menemukan fakta-fakta itu. Saya menyebutnya sebagai “harta tak kelihatan” alias intangible yang diraih dari kerja keras.
Jadi buat apa hidup dalam mitos?

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar