Gairah orang tua untuk “menemukan” dan “mengembangkan” bakat
anak-anaknya kembali muncul. Kalau dulu dibutuhkan seorang psikolog
untuk membaca dan melakukan tes bakat seseorang, kini seakan-akan siapa
saja bisa. Bisnis tes bakat melalui metode “finger print” pun kembali
marak.
Bisnis ini semakin ramai karena prinsip yang
ditawarkan “siapa saja bisa” asalkan dibantu mesin komputer dan scanner
sidik jari. Bukan hanya itu bisnis ini juga diwaralabakan dan pembelinya
wajib ikut kursus sehingga, ribuan ibu-ibu rumah tangga yang menganggur
pun masuk ke dalam circle ini. Saya bahkan mendengar ada juga yang
menggunakan metode sidik jari untuk pelatihan-pelatihan manajemen. Tak
peduli usianya berapa, setiap orang seakan-akan bisa dibaca atau
cocoknya menjadi apa. Lebih menarik lagi, ramalan bakat dari sidik jari
itu dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat suci dan tanggal kelahiran
(horoscope). Tetapi bukankah bakat itu ada?
Bawaan Lahir atau Kerja Keras?
Dulu
saya termasuk orang yang percaya adanya talenta. Bagi saya talenta itu
adalah pemberian Tuhan dan ada pada setiap manusia yang dilahirkan.
Namun dalam salah satu kitab suci, talenta itu digambarkan sebagai
karunia yang dititipkan seorang tuan kepada pegawainya. Ya ibarat modal
yang besarnya tidak sama yang diberikan kepada masing-masing orang. Ada
yang terima satu keping, lima keping, atau bahkan sepuluh keping.
Nah
masalahnya bukanlah pada berapa banyak keping uang logam yang Anda
terima, melainkan apa yang akan Anda lakukan dengan diri Anda agar
kepingan itu bisa menjadi lebih besar lagi? Bukankah modal itu harus
dikembalikan dan diteruskan pada pegawai berikutnya?
Jadi
buat apa pusing-pusing meneliti berapa banyak kepingan yang Anda miliki
masing-masing? Juga buat apa mengetahui apa jenis kepingan uang logam
Anda? Bukankah masing-masing uang logam bisa dipakai untuk berbelanja
apa saja asalkan Anda bisa memperbanyaknya lebih dahulu.
Konsep
tentang talenta atau bakat pada dasarnya dibangun berdasarkan pandangan
bahwa unsur bawaan atau keturunanlah yang menjadi pembentuk
keberhasilan. Jadi ada semacam innate ability bukan latihan atau kerja
keras yang membentuk seseorang. Namun benarkah demikian?
Sekitar
dua tahun yang lalu saya berkunjung ke Austria dan tentu saja saya
mendatangi rumah yang dulu ditempati oleh komposer terkenal Wolfgang
Amadeus Mozart yang masyur pada abad ke-18. Di kota Salzburg, rumah itu
sekarang telah berubah menjadi museum dan banyak didatangi turis
mancanegara. Dari gambar-gambar dan keterangan di museum itu saya
membaca bahwa “bakat” Mozart sudah tampak pada usia enam tahun.
Pada
usia itu, Mozart dan kakaknya Anna Maria sudah menjadi bagian dari
sosialita Austria yang berkumpul dengan borjuis Eropa, mempertontonkan
bakatnya: piano. Melihat pertunjukkan Mozart setiap orang pasti berdecak
kagum dan mengatakan anak ini berbakat. Tetapi benarkah demikian?
Kalau
kritis tentu Anda ingin tahu lebih jauh. Saya pun mengalaminya, dan
dari dokumen-dokumen di museum itu saya menemukan ternyata pada usia
enam tahun Mozart telah menjalani latihan lebih dari 3500 jam sejak usia
tiga tahun. Ayahnya sendirilah Leopold Mozart, yang menjadi pelatihnya.
Ini sejalan dengan temuan psikolog dari University Exeter. Michael Howl
yang menulis semua kajiannya dalam buku Genius Explained. Ia
menyimpulkan jenius atau manusia berbakat bukanlah dilahirkan, melainkan
dibentuk melalui sejumlah latihan. Jadi Anda sendirilah penemu bakat
itu. Andalah yang menjadi penentu bagi masa depan Anda, bukan sidik jari
Anda, bukan pula getaran-getaran lain yang bisa dilihat dari jejak
sejarah atau desain darah Anda. Anda bisa mulai dari mana saja, dari
tidak ada bakat sama sekali.
Kalau Anda masih belum
percaya, bukalah kembali sejarah dan pelajari apa yang dilalui
orang-orang terkenal. Albert Einstein sejak kecil diramalkan menjadi
anak yang bodoh. Ia baru bisa berbicara setelah usia empat tahun dan
baru bisa membaca diusia tujuh tahun. Salah seorang pembaca bakatnya
pernah mengatakan Ia lemot, lamban berpikir, tidak senang bersosialisasi
dan suka berkhayal yang aneh-aneh.
Hal yang serupa juga
dialami oleh Charles Darwin, Michael Jordan, Beethoven, dan banyak lagi.
Bakat mereka tak pernah dikenal dari alat-alat tes. Bahkan saat-saat
pertama berkarya, mereka juga dihina karena menghasilkan karya-karya
yang buruk. Michael Jordan dikeluarkan dari tim basket di SMUnya.
Charles Darwin diejek orang tuanya sebagai dokter yang bakatnya hanya
bisa menyuntik anjing saja. Ia pun berhenti menjadi dokter. Demikian
juga Beethoven yang hanya ditertawakan saat bermain biola.
Bakat
itu bukanlah sesuatu yang sudah ada pada diri masing-masing manusia,
melainkan manusia itu sendiri -yang dibantu orang-orang yang
mengasihinya- yang menemukannya melalui latihan dan kerja keras.
Saya
bicara seperti ini bukan karena mereka-reka melainkan mengalami sendiri
dan didukung oleh bukti-bukti empiris. Saya dibentuk oleh alam melalui
proses yang berat sehingga melahirkan kekuatan-kekuatan baru. Dalam buku
yang berjudul Myelin Anda bisa menemukan fakta-fakta itu. Saya
menyebutnya sebagai “harta tak kelihatan” alias intangible yang diraih
dari kerja keras.
Jadi buat apa hidup dalam mitos?
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar