Berjalan mengelilingi Kota Namlea, tiba-tiba seseorang menyebut nama
mantan seorang atlet sepak bola terkenal,yang pernah jaya di era tahun
1970-an. Semua orang lalu hanyut menceritakan prestasinya.
Saya
masih ingat namanya sering disebut radio dan koran.Tetapi, benarkah itu
atlet yang dulu menjadi pujaan masyarakat? Berambut gimbal, baju
compang-camping, dan lusuh, kaki penuh debu. Seorang teman menyebutkan
persoalan yang dia hadapi. Setelah masa kejayaan,dia harus kembali ke
masyarakat. Ijazah sekolah tidak ada, pengalaman kerja apalagi.Yang ada
di sakunya hanya medali emas yang pernah didapatkan tim PSSI saat dia
bergabung.
Tetapi, sekarang medali itu sudah tidak ada
lagi. Depresi, gila, atau entah apa namanya.Hidup terlunta- lunta tak
ada perhatian. Nama besar tinggal sejarah. Lain lagi dengan Jumain,
mantan atlet dayung nasional yang sering meraih medali emas. Meski tidak
seburuk pemain bola tadi, Jumain yang pernah memperkuat SEA Games XV
(1989) hanya bisa bekerja sebagai penjaga kapal di pantai
Marina–Semarang dengan upah Rp500.000.
Nasib Jumain tidak
lebih baik dari Marina Segedi yang meraih medali emas pencak silat pada
SEA Games XIII (1981) di Filipina. Meski perempuan, Marina kini
berprofesi sebagai sopir taksi di Jakarta. Nasib atlet-atlet tua yang
saya sebut di atas sungguh menyesakkan dada, selain gelanggang olahraga
nasional pasca-SEA Games atau PON yang tak terurus, ternyata atlet-atlet
yang pernah berprestasi juga kurang mendapat perhatian.
Saya
juga pernah membaca mantan juara tinju kelas Bantam Yunior (1987) yang
menjadi pemulung dan sebagainya. Nasib mereka tak sehebat Rudy Hartono,
Liem Swie King, atau Icuk Sugiarto yang sukses hidup sebagai pengusaha.
Sementara hari ini, 24 November 2011, atlet-atlet peraih medali emas SEA
Games akan mendapatkan insentif sebesar Rp200 juta per orang per
medali. Kita perlu mengingatkan bahwa uang sebesar itu bisa saja
mengubah hidup menjadi lebih baik, namun bisa juga sebaliknya.
PLC
Ibarat
produk, setiap atlet juga memiliki PLC (product life cycle) yang
relatif pendek. Atlet adalah profesi yang ”cemerlang” di usia
muda.Paling panjang, seorang atlet di dunia amatir dapat bertahan antara
10–12 tahun.Lewat usia tertentu, siklus hidupnya akan berakhir. Padahal
usia muda hanya sementara, dan untuk meraih prestasi, seorang atlet
harus mengabdikan hampir seluruh masa mudanya untuk olahraga.
Seperti
atlet golf perempuan asal Korea Selatan, Seri Park, yang meninggalkan
dunia sekolah, atlet-atlet kita juga banyak yang melakukan hal serupa.
Selain fokus, sebagian atlet diketahui juga berasal dari kalangan kurang
mampu yang memperbaiki nasib keluarga melalui olahraga. Kalau olahraga
yang ditekuninya favorit, dia bisa mencetak prestasi setiap tahun dalam
kurun waktu tertentu.
Dan kalau wajahnya khas dan
ceritanya unik, mereka bisa mendapat rezeki sampingan, baik sebagai
bintang iklan,bintang layar lebar, atau yang lebih beruntung lagi
mendapat kan mertua yang hebat. Tetapi berapa banyak atlet yang
beruntung seperti Ade Rai, Taufik Hidayat, atau Rudy Hartono? Tentu
tidak banyak,bukan? Dalam kurun waktu PLC yang pendek itu kita perlu
mengingatkan para atlet agar mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum
masa emasnya berakhir.
Jendela emas yang hanya
berlangsung 10–12 tahun itu berlangsung begitu cepat, dan mereka perlu
berpikir keras agar tidak bernasib seperti seniorsenior mereka yang
kurang beruntung. Sikap setiap orang terhadap masa depan tentu berbeda-
beda.Ada yang jauh-jauh hari sudah berpikir dan mempersiapkan diri,
namun ada juga yang masih ingin bersenang- senang menikmati masa muda
dengan uang yang berlimpah dan penuh pujapuji.
Kalau
seorang atlet meraih empat medali emas ditambah beberapa medali perak
dan perunggu, dia hampir pasti akan membawa bonus minimal sebesar Rp1
miliar.Ini tentu bukan jumlah yang kecil. Namun, seperti orang pensiunan
yang selama bertahuntahun hanya terlatih menjadi pegawai,sudah pasti
seseorang akan mudah terjerumus dan kebingungan, seorang yang tidak bisa
mengelola uang perlu dibekali dengan perencanaan keuangan yang sehat.
Lakukanlah Investasi
Orang-orang
dulu percaya bahwa ”hemat adalah pangkal kaya”. Meski saya hampir tak
pernah melihat orang yang menjadi kaya karena hidupnya sangat hemat,
saya juga tidak melihat ada masa depan di tangan orang-orang yang boros.
Atlet-atlet yang cerdas tentu perlu merencanakan tindakannya dengan
penuh kehati-hatian. Yang jelas, konsumsi yang berlebihan bukanlah hal
yang disarankan.
Atlet yang cerdik dapat menggunakan
uangnya untuk berinvestasi, baik dalam bidang pendidikan, bermain saham,
atau investasi dalam usaha-usaha tertentu.Tetapi, sebagai seorang
pemula, semua investasi itu harus melewati masa belajar yang panjang.
Karena itu, tak ada hasil yang diperoleh dalam sekejap.
Semua
butuh kerja keras dan mampu mengelola rasa frustrasi, mengelola
kesabaran. Apa yang diinvestasikan hari ini baru akan berbuah lima– enam
tahun ke depan. Itu pun hanya akan berbuah kalau jalannya benar. Saya
ucapkan selamat kepada para atlet yang berprestasi dan berhati-hatilah
dalam mengelola uang karena dia bisa menjadi sumber harapan masa depan,
namun juga bisa menjadi sumber masalah.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar