Kepentingan yang “dikorbankan” itu menjadi sorotan, terutama dalam area pekerjaan publik, di mana seorang pejabat atau pengemban tugas publik tidak mampu memisahkan antara kepentingan personal (pribadi)-nya dan kepentingan publik (rakyat). Dalam mengemban tugas publik, setiap orang pasti akan mengalami konflik itu, dan hampir pasti kepentingan publik selalu dikalahkan,sehingga conflict of interest harus dikelola, dimitigasi dengan aturan-aturan dan kode etik yang memadai.
Menurut Mac Donald & Norman, sebagaimana ditulis dalam Journal of Business Ethics (Agustus 2002),“The integrity of public sector officers and processes is fundamental to the rule of law, and as conflict of interest are a major risk in all areas of government it is crucial that they be identified and managed. If they are not, and public officials put their private interest above the public interest there is the potential for serious misconduct and corruption”
Aturan-aturan dan undangundang harus mengedepankan kepentingan publik dan dikawal pelaksanaannya,karena sejak dari awal proses pembuatan setiap undang-undang itu terdapat proses conflict of interest, yang memungkinkan berbeloknya kepentingan publik ke dalam kepentingan masing-masing personal.
Demikian pula dalam pelaksanaannya. Karena itu, mengembangkan aturan atau undangundang yang mampu membentuk budaya pelayanan publik yang bebas conflict of interest menjadi sangat krusial demi terbentuknya kepercayaan yang besar pada lembagalembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Budaya organisasi yang sangat mengedepankan kepentingan pribadi di gedung parlemen telah menjadi tontonan rakyat sehari-hari.Adalah hal yang biasa disaksikan, dua orang wakil rakyat,bahkan yang berasal dari fraksi yang sama, bertengkar menyerang pejabat publik yang diundang dalam rapat dengar pendapat karena masing-masing memiliki kepentingan pribadi terhadap kebijakan yang dibuat pihak eksekutif.
Dalam interaksi saya dengan para pemimpin (CEO) badan usaha milik negara,saya sering mendengar keluhan kesulitan menghadapi wakil rakyat yang tak henti-hentinya mengundang rapat dengar pendapat, yang sebenarnya merupakan sarana lobi untuk memasukkan atau menggolkan kepentingan-kepentingan bisnis pada BUMN tersebut.
Conflict of interest seperti ini telah sangat mengganggu arah pembangunan masa depan bangsa dalam segala hal. Pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang mengkhawatirkan tentang arah masa depan pengembangan energi nasional misalnya mudah ditelusuri dari resistensi yang diberikan sekelompok anggota Dewan yang berbisnis pada bidang energi konvensional yang merasa terganggu oleh kebijakan dalam energi terbarukan.
Dari sebab itulah, peraturan dan perundang-undangan yang ada harus mampu membentuk budaya bebas kepentingan pada masyarakat luas,khususnya pada lembagalembaga publik. Tontonan tentang perilaku conflict of interest yang dominan di gedung parlemen, yang menjadi perhatian media massa, dapat membentuk budaya yang sama dalam masyarakat luas.
Masing-masing anggota masyarakat hanya akan mengedepankan kepentingan masing-masing karena meniru apa yang dilakukan para pemangku kepentingan, yang akhirnya akan memupuskan ikatan (bonding) pada masyarakatsebagai bangsa yang mempunyai hak sama di hadapan hukum. Ini akan berakibat memudarkan ikatan sebagai komunitas dan bangsa.
Masingmasing orang hanya akan fokus pada dirinya masing-masing, yaitu “apa akibatnya bagi diri saya pribadi?” dan bukan “apa akibatnya bagi kita semua?” (Glasser,2002). Budaya bebas kepentingan akan sulit dicapai bila suatu bangsa membiarkan atau seakan-akan membenarkan seorang pejabat publik menghadapi situasi yang jelas-jelas dia sendiri tidak dapat bertindak adil karena terkena akibat dari kepentingan yang diambilnya.
Menarik juga diperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir, pascaberakhirnya pemerintahan Orde Baru, sistem kelembagaan tata negara Indonesia mulai mengarah pada pembentukan budaya bebas kepentingan. Mahkamah Agung sudah mulai mandiri dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, lepas dari pengaruh eksekutif dan legislatif.
Peranan DPR yang dulu dimandulkan (legislasi, budget, dan pengawasan) sudah mulai dihidupkan dan seterusnya. Pada tingkatan yang lebih mikro, di berbagai institusi eksekutif, mulai dilakukan pemisahan-pemisahan pada bagian-bagian yang berpotensi mengalami conflict of interest.
Di Kantor Pajak telah dipisahkan antara unit yang menagih pajak dan unit yang menangani pemeriksaan dan kebenaran. Namun, ketika lembagalembaga publik mulai membebaskan diri dari konflik kepentingan, saat ini kita menyaksikan pemandangan yang tidak menyejukkan dari lembaga legislatif, yang justru sangat sarat dan terlena dalam tradisi yang penuh dengan konflik kepentingan.
Lembaga legislatif (DPR) jelas perlu melakukan transformasi mendasar untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah merosot sebagai akibat keterlenaannya terhadap pengambilan-pengambilan keputusan yang sarat conflict of interest. Namun, seperti yang dialami organisasiorganisasi publik lain,lembaga yang sangat berkuasa,atau memiliki kekuasaan yang sangat strategis, selalu saja mengalami inertia, yaitu ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang mengikat dirinya sendiri.
Organisasi seperti ini lalu berubah menjadi “musuh masyarakat”, yang biasanya justru malah membentengi dirinya lebih kuat lagi bila diberikan feedback untuk memperbaiki dirinya demi mempertahankan status quo. Selain berbagi kenikmatan, masuk ke dalam zona nyaman (comfort zone), mereka juga cenderung saling melindungi satu sama lain kendati rekan-rekannya melakukan perbuatan-perbuatan melanggar etika.
Organisasi seperti ini akhirnya akan menjadi beban bagi suatu komunitas kumuh dan menimbulkan persoalanpersoalan sosial serta kesulitan beradaptasi secara mandiri. Kita sudah pernah menyaksikan persoalan-persoalan serupa di TNI, kepolisian, dan hampir seluruh jajaran birokrasi di era Orde Baru yang dibiarkan berlarut-larut sampai bangsa ini sangat kesulitan melakukan pembaruan.
Mereka cenderung saling menutupi kesalahan dan pelanggaran berat yang dilakukan anggotanya. Karena itu,diperlukan breaktrough (terobosan-terobosan) yang datang dari luar untuk mengembalikan organisasi pada relnya dan menjadikan lembaga legislatif sebagai organisasi berintegritas yang dicintai rakyatnya.
Organisasi seperti DPR ini hanya akan dapat kembali dipercaya kalau organisasi ini memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bebas dari kepentingan. Maka itu,kemarin di hadapan Mahkamah Konstitusi, saya meluangkan waktu menjadi saksi ahli untuk memperjuangkan agar budaya conflict of interest di negeri ini dapat dihalau, dimulai dari gedung parlemen.
Saya melihat harapan dari gedung Mahkamah Konstitusi yang dapat melihat dan meninjau kembali pasal-pasal UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang sarat dengan masalah conflict of interest. Pertama, tentang susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan (Pasal 124).Pasal ini telah membuat lembaga legislatif yang terhormat gagal melakukan self correction yang diperlukan untuk menjaga integritas dan kehormatannya.
Badan kehormatan yang hanya terdiri atas kelompokkelompok yang sama dengan orang-orang yang melanggar etika hanya akan mempersulit geraknya sendiri dalam memperbarui dan membersihkan diri dari persoalan-persoalan serius yang dihadapinya.
Hal ini terbukti dari gagalnya BK DPR menangani sejumlah anggotanya yang diadukan masyarakat karena persoalan-persoalan serius pelanggaran etika. Norbiss (1989) dalam Moral Hazards of an Executive mengatakan, prinsip-prinsip moralitas demokrasi hanya akan berjalan bila para wakil rakyat peduli terhadap public values.
Kenyataannya, kita menyaksikan BK DPR yang hanya diisi para anggota DPR (perwakilan dari fraksi) justru semakin menjauh dari public values, bukan karena tidak paham,melainkan karena “tidak memungkinkan” lantaran conflict of interest.
Untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan publik, BK DPR justru diisi orangorang yang berasal dari luar lingkungannya yang bebas dari kepentingan, netral, dan tidak memiliki multiple interest. Hal ini sudah dilakukan di Dewan Pers, dan terakhir di Komisi Etika KPK yang mendapatkan sambutan positif dari masyarakat.
Kedua, tentang larangan jabatan rangkap. Saya berkeyakinan jabatan rangkap yang sekarang marak dijalankan para wakil rakyat telah menimbulkan ketidakpercayaan yang sangat luas dalam masyarakat terhadap lembaga legislatif.Sudah menjadi rahasia umum ada tendensi di masyarakat untuk menggunakan jabatan sebagai wakil rakyat demi kegiatan “power marketing”.
Sebagai wakil rakyat yang dibebaskan terlibat conflict of interest¸ kebebasan menekan dan memanfaatkan hubungan dengan eksekutif telah menimbulkan praktikpraktik bisnis yang tidak sehat, persaingan tidak sehat, dan tentu saja korupsi yang terselubung.
Karena itu, saya merekomendasikan agar larangan rangkap jabatan (apa pun) yang sudah diberlakukan lembaga-lembaga publik lain hendaknya juga menjadi tradisi dan ketentuan tertulis yang dapat dituntut secara hukum pada lembaga legislatif.
Larangan jabatan (apa pun) yang saya maksud apakah segala jenis kegiatan profesi apa pun selain menjadi wakil rakyat.Wakil rakyat yang tidak berbisnis, tidak menjalankan kegiatan profesional, tidak menjadi makelar,atau kegiatan ekonomi lain akan memudahkan peran untuk sepenuhnya fokus menjalankan amanah konstituennya.
Wakil rakyat yang “fokus” dan bebas dari kepentingan akan menjamin integritas, netralitas, disiplin, dan perilaku positif dalam bernegara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
ARTIKEL INI DIMUAT DALAM HARIAN SEPUTAR INDONESIA, 17 NOVEMBER 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar