Banyak PNS muda yang curhat kepada saya mempertanyakan kapan
birokrasi Indonesia berubah dari kucing (yang maaf ,”malas”) menjadi
Cheetah (yang gesit dan cepat). Mereka gundah setelah membaca pernyataan
Wapres Budiono yang menjanjikan transformasi birokrasi bisa berlangsung
empat-lima kabinet. Ini berarti 20 tahun ke depan nasib dan cara kerja
mereka belum berubah. Dan seperti Bandara Ir H. Juanda yang butuh waktu
12 tahun dari desain sampai peresmian, maka begitu selesai, ia juga
harus sudah diperbaiki lagi: kapasitas sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan, dan berubah lagi.
Maka, kepada rekan-rekan PNS
saya ingatkan bahwa perlu dilakukan terobosan leadership supaya hidup
dan kerja tidak membosankan. Bukankah bekerja tanpa memberikan impak
sosial tidak membahagiakan? Apa artinya mempunyai banyak proyek kalau
martabat diinjak-injak masyarakat dan dianggap tak berguna?
Terobosan Leadership
Dalam
banyak hal, leadership di kalangan PNS sebenarnya sudah harus banyak
berubah. Ketika desain birokrasi diperbaiki, celakanya sebagian besar
PNS terjangkit inertia, yaitu terikat belenggu-belenggu tradisi yang
memenjarakan kaki-tangan-dan pikiran-pikirannya. Cara bekerja dan
berpikir manusia Orde Baru, yaitu sangat mengedepankan kesetiaan pada
atasan, stabilitas, menunggu arahan dari atas, setor muka, membacakan
naskah pidato yang dibuatkan orang lain, membagikan alat-alat yang tidak
sesuai dengan kebutuhan si penerima di lapangan, terlalu prosedural
dan seterusnya.
Selain itu manajemen birokrasi adalah
manajemen yang terkunci pada model perilaku I –Centric yang berakibat
buruk pada hereditas (DNA) unit organisasi tersebut. Organisasi seperti
itu bekerja seperti berikut ini: hanya melayani (berbicara) dengan
atasan satu tingkat di atasnya (one level up), strategi dan informasi
dikuasai pejabat senior tertentu, jabatan dipakai untuk meng-impresi dan
menciptakan jarak (hirarki), pintu ruangan tertutup - dijaga beberapa
petugas administrasi dan ajudan, kritik terhadap hasil kinerja orang
lain sangat judgemental (menghakimi), fokus pada “apa yang tidak bisa
dikerjakan), cenderung blaming (menyalahkan), kesalahan adalah
ketakutan, takut tidak bisa melaksanakan, sulit mendapat dukungan
pelaksanaan, informasi tidak di sharing dengan yang lain, dilarang
“cross the line” atau menjembatani diri dengan anak buah orang lain
tanpa melalui atasan masing-masing, otokratik, atasan selalu benar,
bawasan selalu merasa kurang diperlakukan secara adil, ada bagian
“kering” – ada bagian “basah”, menunjukkan (bukan “membagi”) “apa yang
saya tahu”, memberi pengarahan (bukan mendengarkan), bekerja dengan
sarat prosedur dan tujuan utamanya adalah compliant (kepatuhan) – bukan
hasil, yang membuat Anda tidak bisa bekerja lebih jauh adalah constraint
dan aturan yang dibuat sendiri, dan perintah atau arahan adalah dibuat
dogma.
Panjang sekali ya? Ya, seperti itulah model
leadership sebagian besar PNS yang belum melakukan transformasi.
Prosedur memang sulit kita ubah sendiri, namun leadership adalah urusan
kita masing-masing. Inilah yang membedakan Anda sebagai leader atau
follower. Leader mengambil inisiatif, menetapkan nada dan lagu,
mengambil keputusan. Follower maaf, cuma ikut-ikut dan mengeluh saja,
agendanya ditetapkan orang lain dan ia hanya menunggu perintah. Otaknya
tidak aktif berpikir karena semua pekerjaan digariskan dari atas,
sehingga lama-lama orang pintar lulusan UI, ITS, dan Unair pun jadi
bodoh.
Maka saat ini diperlukan leadership breaktrough,
sudah ataupun belum reformasi birokrasi menyentuh para PNS di lingkungan
masing-masing. Leadership breakthrough ini pada dasarnya adalah suatu
transformasi dari cara-cara yang berpusat pada diri sendiri (I-Centric)
menjadi We-Centric. Manusia I-Centric hanya bekerja untuk dirinya
sendiri dan atasan satu level di atasnya saja. Ia disconnect terhadap
dunia di sekitarnya. Setiap orang bekerja pada silosnya masing-masing.
Manusia
I-Centric tidak akan bisa menolong pemerintah memberikan pelayanan.
Sebaliknya , organisasi customer centric harus dimulai dari
manusia-manusia We-Centric. Inilah manusia-manusia yang berorientasi
pada konteks yang lebih besar dari dirinya sendiri. Manusia We (kami)
adalah manusia yang connected (terhubung) dengan sekitarnya.
Perhatikanlah
pemerintahan-pemerintahan daerah yang maju, atau negara-negara yang
sukses. Mereka memiliki cara kerja seperti perusahaan-perusahaan yang
sukses. Sebut saja Starbucks atau Microsoft. Mereka sukses bukan karena
teknologi atau capital, melainkan oleh manusia-manusia yang mampu
bekerja sama dan secara kreatif dan kritis membentuk lingkungannya.
Mereka melihat semua orang sebagai mitra yang menyampaikan “experience”
kepada jutaan pelanggan setiap saat.
Breakthrough itu akan
menghasilkan manusia-manusia yang berbagi ¬(sharing) apa saja, mulai
dari informasi sampai pengetahuan dan pekerjaan, terlibat dalam
pengambilan keputusan, inclusive, open-door policy, saling mendukung dan
memberi semangat, fokus pada apa yang bisa dikerjakan, berani belajar
dari kesalahan, sharing hope, dreams dan aspiration, mendukung risk
taking, mau mendengarkan, dan memberi reward terhadap sukses.
Dalam
buku Record – Your Change DNA, saya menemukan pegawai-pegawai yang
sukses adalah pegawai-pegawai yang aktif berpikir dan mengerjakan apa
yang dipikirkannya, bukan yang dipikirkan orang lain. Maka penting bagi
kita menghidupkan kembali otak-otak PNS agar mampu memberi impak yang
sehat. Selamat berubah
Rhenald Kasali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar