Banyak Lelaki berpikir harus ganteng dulu supaya bisa dapat pacar.
Tetapi saya justru banyak menemukan lelaki keren mentereng yang
kesulitan mendapatkan pasangan. Kejadian seperti ini sama persis seperti
yang dialami anak-anak muda, yang baru merintis usaha yang
habis-habisan fokus pada produk kebanggaannya.
Seorang
remaja misalnya, komplain kepada adik-kakaknya yang kesemuanya
perempuan. Sebagai satu-satunya anak lelaki ia merasa ada yang kurang
beres. Ia lalu bertanya kepada adiknya, “apakah saya kurang keren?”
Adiknya berkata dengan bahasa gaul “kakak cute kok!” Cute berarti keren,
tidak jelek, si adik menyimpulkannya setelah bergunjing dengan
“geng”-nya di sekolah, tetapi mengapa kakak “cute” tidak dapat cewek?
HOT: Action
Mudah
saja dijawab, ternyata cewek-cewek itu bukan mencari yang cute,
melainkan yang hot. Cowok-cowok yang keren sering kali tidak hot, manja,
menunggu dilamar, tinggi hati, dan hanya sibuk berdandan. Sekarang Anda
jadi mengerti bukan, mengapa banyak perempuan cantik yang tidak jatuh
ke pelukan laki-laki cute? Bahkan Anda sering menghujat, “lha kok
cowoknya parah banget? Nggak selevel?” Masalahnya, merekalah yang berani
mendatangi, bolak-balik tak kenal lelah.
Itulah reality
show. Sekali lagi bukan yang cute, melainkan yang hot-lah yang dicari.
Ini sama persis dalam dinamika bisnis di era Cracking Zone. Pasar bukan
mengejar produk yang cute, melainkan yang hot. Barang-barang yang cute
tidak beredar, sedangkan yang hot, meski kurang-kurang sedikit, bahkan
maaf, kadang juga yang kurang bagus, melenggang lancar di pasar karena
ia digerakkan, pemikiknya aktif mendatangi pasar.
Saat
menulis kolom ini saya pun sedang berada di Banda Aceh, menghadiri
Festival Kopi Aceh tak jauh dari Masjid Raya kesohor itu. Di antara
tenda-tenda peserta, saya mendatangi UMKM binaan Rumah Perubahan secara
on the spot. Dengan jelas kami bisa membedakan mana saja UMKM yang akan
maju dan mana yang akan diam di tempat: Mereka yang diam itulah yang
tendanya bagus dan asyik sendiri. Sedangkan yang hot, aktif mendatangi.
Ini sama persis dengan UMKM yang dibawa pemda-pemda ikut pameran ke luar
negeri.
UMKM yang hot sudah siap dengan aneka brosur dan
kartu nama, sedangkan yang cute sibuk menyiapkan display produk dan
stand. Kita tahulah bagaimana kerja birokrasi yang masih banyak
digerakkan prinsip “sekedar menghabiskan anggaran.” Dengan prinsip itu,
pemerintah sudah pasti tidak mendapatkan lokasi pameran yang “hot”. Jadi
letaknya tidak pada posisi yang strategis, menyempil di dalam-dalam
kotak yang tersudut. Pada posisi seperti ini, Departemen Perdagangan
lebih senang menghabiskan uangnya untuk membuat desain stand yang
”cute”, ditambah sejumlah kegiatan Public Relations yang ditopang
wartawan dari dalam negeri.
Wartawan yang tidak kritis
“tertipu” habis karena hanya menyajikan berita betapa “cute”-nya stand
pameran Indonesia. Seakan-akan yang cute itulah yang sukses. Statistik
yang diberikan pemerintah juga amat impresif. Tapi tanyakanlah kepada
pelaku-pelaku UMKM yang “cute” tadi, apakah betul mereka mendapatkan
order?
Beberapa tahun yang lalu ada anak muda yang ikut
pameran pariwisata yang amat terkenal di Berlin. Sewaktu saya kunjungi
saya tertegun karena ia tak berada di dalam area stand pemerintah
Indonesia. Ia berkeliling sambil membawa sebuah hand luggage beroda dan
bersama temannya membagi-bagikan brosur pada para pengunjung yang
keluar dari area standpemerintah Malaysia, Turki, Thailand, atau Israel.
Maklum itulah empat negara yang gencar berpromosi dan paling banyak
dikunjungi calon-calon “buyer” dan travel agents.
Sementara
pelaku-pelaku pariwisata Indonesia mengeluh pada pemerintah karena
pamerannya gagal, anak muda itu justru mendapatkan “pacar”, yaitu order
dari mancanegara.
Jadi, cracking zone ini memang penuh
jebakan batman, kita mengira segala yang cute akan digemari, nyatanya
tidak demikian. Sama juga dengan wirausahawan-wirausahawan muda yang
hanya sibuk dengan pengembangan produk tok.Produk yang cute tak akan
otomatis bergulir. Malaysia saja alamnya tak se-“cute” Indonesia bisa
mendapatkan turis lebih banyak. Tentu bukan karena prinsip “the cute”.
In real life, the hot is the darling!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar