Euphoria Jokowi
baru saja berlalu. Setidaknya sekarang rakyat Jakarta menunggu kerjanya
gubernur baru DKI yang sarat masalah ini. Saya ingin mengajak pembaca
pergi sejenak ke luar Jawa. Di sana saya kira juga ada tokoh-tokoh
masyarakat sekelas Jokowi, Pakde Karwo, atau Wagub Jateng Rustriningsih.
Ayo kita ke Denpasar.
Minggu lalu saya diundang pemerintah kota Denpasar untuk mendampingi anak-anak muda yang digembleng oleh pemerintah kota ini. Selama 3 tahun mendampingi, di kota ini saya memiliki sekitar 50 orang anak didik yang tak kalah dengan wirausaha-wirausaha muda dari Surabaya, Jogyakarta atau Bandung. (Saya sengaja tak menyebut Jakarta, karena rata-rata anak Jakarta mimpinya masih ingin bekerja di Bank ataupun MNC).
Kebetulan Walikotanya, Rai Dharmawijaya Mantra, adalah mantan pengurus HIPMI pengusaha yang mengerti bagaimana pentingnya kewirausahaan di antara kaum muda. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mencari dirinya sendiri-sendiri, anak-anak muda sekarang bisa berpikir seluas samudra. Bimbingan diberikan, sehingga usaha bisa berkembang lebih sistematis.
Saya jadi teringat dengan mendiang raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang menekankan benih-benih perubahan di Urban Village yang teduh di Ubud dengan mendatangkan pelukis-pelukis terkenal. Sejak saat itulah lukisan anak-anak muda di Bali mulai berwarna. Dari sekedar epos Ramayana dan cerita-cerita perwayangan, menjadi lebih ekspresif.
Demikian juga hentakan yang dilakukan Walikota Rai Dharmawijaya Mantra. Dengan dididik secara tekun, wirausahawan-wirausahawan muda Bali tidak lagi menjadi “murah ekonomi” rakyat. Mereka tidak perlu berkutat pada lahan yang cuma digeluti rakyat jelata. Anda tentu tahu, gairah kewirausahaan kaum muda, kalau tidak diarahkan, alih-alih bukannya ikut menggerakkan ekonomi, malah membunuh usaha rakyat kecil.
Ya, mereka tentu punya cara yang lebih baik, lebih higienis dan lebih memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di Bali sendiri, para pedagang barang-barang kesenian yang dulu kita kenal ada di pasar Sukawati sekarang perlahan-lahan telah memudar, digantikan toko oleh-oleh modern yang jauh lebih convenient dan tak jauh dari bandara.
Saya selalu mengatakan kepada anak-anak muda yang disekolahkan oleh orang tua yang juga rakyat biasa itu, janganlah “bertarung” melawan ekonomi rakyat , tetapi jadilah mitra mereka. Dan itu tampaknya usaha-usaha yang lebih kreatif mulai bersemi. Bahkan pemerintah kota Denpasar sekarang mencanangkan program “Kewirausahaan Goes to Banjar”. Ini pasti sangat menantang karena di sana masih banyak “kenyamanan” hidup dalam tanggungan keluarga besar. Kalau ada satu saja orang dari setiap keluarga besar itu menjadi wirausaha, niscaya warga Banjar akan jauh lebih sejahtera.
Tentu saja ini tidak mudah. Apalagi selama ini kegiatan mereka sangat padat upacara. Namun kalau kita perhatikan, anak-anak muda di Banjar terlihat sangat antusias bekerja kelompok. Saat membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya nyepi misalnya, semua anak muda terlihat antusias. Apalagi jika dilombakan antar Banjar. Gairah itu cepat tertanam. Namun masalahnya kewirausahaan adalah kegiatan yang lebih dari sekedar “gotong royong” dan “bisa membuat”.
Kewirausahaan membutuhkan kerja mandiri, inisiatif perorangan, pengambilan resiko dan spirit komersial. Values kejujuran yang bersumber dari Karmaphala sudah menjadi modal yang penting. Tetapi kewirausahaan tidak boleh dibangun di atas “mood” angin-anginan. Apalagi “andel-andelan”. Ini adalah profesi seumur hidup yang butuh inisiatif dan kemandirian. Nilai-nilai komersial pun harus ditanam secara harmonis dengan nilai-nilai kebaikan. Karena itulah metode jalan pintas, kepepet, cara malas, cara bodoh dan sejenisnya (meski terdengar hebat dan melenakan) jangan dijadikan pedoman. Kalau anak mudah sudah di iming-imingi kekayaan maka akan hilang jiwa kecintaan dan kejujuran mereka. Kaya yang indah adalah kaya yang penuh cinta dan kejujuran.
Kolaborasi
Saya tidak pernah melihat sebuah kolaborasi harmonis yang dimotori oleh pemerintah kota, selain di Denpasar ini. Aparat birokrasi yang bersih (dapat dilihat dari pengikut GCG nya), kecepatan bertindak, dan kerja birokrasinya yang sangat entrepreneurial.
Pemkot - Bank Indonesia wilayah Bali dan Nusa Tenggara - HIPMI Bali bergabung bersama-sama dengan anak-anak muda. Pulang dari Denpasar saya dioleh-olehi kaos yang dilukis dengan wajah saya yang sedang menunggang gajah (saya adalah kolektor ornamen-ornamen dari gajah) dan bakpia legong yang rasanya melekat dengan kemasan khas berupa pintu Bali. Anak-anak muda yang saya temui memiliki usaha yang amat beragam dan kelak mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang modern.
Saya masih juga punya cerita banyak tentang upaya –upaya Pemkot Denpasar, namun hari ini saya batasi dulu pada aspek kewirausahaan. Kalau Indonesia mau maju, rakyat memang harus dibebaskan dari politik uang agar mereka bisa memilih pemimpin yang peduli terhadap nasib dan masa depan mereka. Mari kita contoh I B. Rai Darmawijaya Mantra, dan bupati-bupati yang pro rakyat.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Minggu lalu saya diundang pemerintah kota Denpasar untuk mendampingi anak-anak muda yang digembleng oleh pemerintah kota ini. Selama 3 tahun mendampingi, di kota ini saya memiliki sekitar 50 orang anak didik yang tak kalah dengan wirausaha-wirausaha muda dari Surabaya, Jogyakarta atau Bandung. (Saya sengaja tak menyebut Jakarta, karena rata-rata anak Jakarta mimpinya masih ingin bekerja di Bank ataupun MNC).
Kebetulan Walikotanya, Rai Dharmawijaya Mantra, adalah mantan pengurus HIPMI pengusaha yang mengerti bagaimana pentingnya kewirausahaan di antara kaum muda. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mencari dirinya sendiri-sendiri, anak-anak muda sekarang bisa berpikir seluas samudra. Bimbingan diberikan, sehingga usaha bisa berkembang lebih sistematis.
Saya jadi teringat dengan mendiang raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang menekankan benih-benih perubahan di Urban Village yang teduh di Ubud dengan mendatangkan pelukis-pelukis terkenal. Sejak saat itulah lukisan anak-anak muda di Bali mulai berwarna. Dari sekedar epos Ramayana dan cerita-cerita perwayangan, menjadi lebih ekspresif.
Demikian juga hentakan yang dilakukan Walikota Rai Dharmawijaya Mantra. Dengan dididik secara tekun, wirausahawan-wirausahawan muda Bali tidak lagi menjadi “murah ekonomi” rakyat. Mereka tidak perlu berkutat pada lahan yang cuma digeluti rakyat jelata. Anda tentu tahu, gairah kewirausahaan kaum muda, kalau tidak diarahkan, alih-alih bukannya ikut menggerakkan ekonomi, malah membunuh usaha rakyat kecil.
Ya, mereka tentu punya cara yang lebih baik, lebih higienis dan lebih memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di Bali sendiri, para pedagang barang-barang kesenian yang dulu kita kenal ada di pasar Sukawati sekarang perlahan-lahan telah memudar, digantikan toko oleh-oleh modern yang jauh lebih convenient dan tak jauh dari bandara.
Saya selalu mengatakan kepada anak-anak muda yang disekolahkan oleh orang tua yang juga rakyat biasa itu, janganlah “bertarung” melawan ekonomi rakyat , tetapi jadilah mitra mereka. Dan itu tampaknya usaha-usaha yang lebih kreatif mulai bersemi. Bahkan pemerintah kota Denpasar sekarang mencanangkan program “Kewirausahaan Goes to Banjar”. Ini pasti sangat menantang karena di sana masih banyak “kenyamanan” hidup dalam tanggungan keluarga besar. Kalau ada satu saja orang dari setiap keluarga besar itu menjadi wirausaha, niscaya warga Banjar akan jauh lebih sejahtera.
Tentu saja ini tidak mudah. Apalagi selama ini kegiatan mereka sangat padat upacara. Namun kalau kita perhatikan, anak-anak muda di Banjar terlihat sangat antusias bekerja kelompok. Saat membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya nyepi misalnya, semua anak muda terlihat antusias. Apalagi jika dilombakan antar Banjar. Gairah itu cepat tertanam. Namun masalahnya kewirausahaan adalah kegiatan yang lebih dari sekedar “gotong royong” dan “bisa membuat”.
Kewirausahaan membutuhkan kerja mandiri, inisiatif perorangan, pengambilan resiko dan spirit komersial. Values kejujuran yang bersumber dari Karmaphala sudah menjadi modal yang penting. Tetapi kewirausahaan tidak boleh dibangun di atas “mood” angin-anginan. Apalagi “andel-andelan”. Ini adalah profesi seumur hidup yang butuh inisiatif dan kemandirian. Nilai-nilai komersial pun harus ditanam secara harmonis dengan nilai-nilai kebaikan. Karena itulah metode jalan pintas, kepepet, cara malas, cara bodoh dan sejenisnya (meski terdengar hebat dan melenakan) jangan dijadikan pedoman. Kalau anak mudah sudah di iming-imingi kekayaan maka akan hilang jiwa kecintaan dan kejujuran mereka. Kaya yang indah adalah kaya yang penuh cinta dan kejujuran.
Kolaborasi
Saya tidak pernah melihat sebuah kolaborasi harmonis yang dimotori oleh pemerintah kota, selain di Denpasar ini. Aparat birokrasi yang bersih (dapat dilihat dari pengikut GCG nya), kecepatan bertindak, dan kerja birokrasinya yang sangat entrepreneurial.
Pemkot - Bank Indonesia wilayah Bali dan Nusa Tenggara - HIPMI Bali bergabung bersama-sama dengan anak-anak muda. Pulang dari Denpasar saya dioleh-olehi kaos yang dilukis dengan wajah saya yang sedang menunggang gajah (saya adalah kolektor ornamen-ornamen dari gajah) dan bakpia legong yang rasanya melekat dengan kemasan khas berupa pintu Bali. Anak-anak muda yang saya temui memiliki usaha yang amat beragam dan kelak mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang modern.
Saya masih juga punya cerita banyak tentang upaya –upaya Pemkot Denpasar, namun hari ini saya batasi dulu pada aspek kewirausahaan. Kalau Indonesia mau maju, rakyat memang harus dibebaskan dari politik uang agar mereka bisa memilih pemimpin yang peduli terhadap nasib dan masa depan mereka. Mari kita contoh I B. Rai Darmawijaya Mantra, dan bupati-bupati yang pro rakyat.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar