Minggu, 24 Februari 2013
Susi Air - Jawa Pos 18 Februari 2013
Jeffri Van Novis bukan orang Belanda, melainkan aseli Minang. Di Pasar Aur Bukittinggi, Jeffri berjualan celana dalam perempuan, mereknya Bonita, tetapi jangan salah, manusia tak bisa dinilai dari apa yang dikerjakan hari ini, melainkan apa yang dipikirkannya. Uang bokek, dagangan kecil, lokasi terpencil bukan ukuran kebesaran. Apa yang dipikirkan Jeffri adalah mendirikan perusahaan aviasi: Bonita Air.
Sudah jadi? Belumlah. Jeffri baru hijrah ke Jakarta 2 tahun ini, membuka outlet tiket pesawat terbang di pasar Tanah Abang. Tetapi saat saya Tanya, ia selalu menjawab: masih menjadi passion saya. Jeffri sedang mengumpulkan daya, tenaga dan modal untuk mewujudkan impiannya. Ia masih jungkir balik, berbeda dengan rekan-rekannya yang langsung kaya dengan usaha kuliner yang mudah dibangun.
Hari Jumat kemarin saya mengunjungi kantor Susi Air di Pangandaran, menikmati terbang bersama pesawat-pesawat carter milik ibu Susi Pudjiastuti. Dari bandara Halim ke Pangandaran, lalu terbang memakai pesawat Caravan mendarat di lapangan rumput, beach strip, persis di tepi pantai. Apa bedanya Susi dengan Jeffri? Yang jelas usianya. Yang satu duakali dari yang lain. Persamaannya? Keduanya sama-sama memulai dari pasar. Susi dulu adalah bakul ikan yang membeli ikan-ikan basah dari nelayan di pasar Cilacap. Dengan menyewa truk ia berhenti di Cirebob, lalu membawa ikan basah ke Jakarta. Hidupnya keras, tetapi cerdas.
Bersusah-susah Dulu
Di Banyuwangi juga ada seorang ibu, namanya Liza Lundin, aseli Banyuwangi. Juga pengusaha, hanya saja bidangnya kapal-kapal laut tempur berteknologi tinggi berbahan komposit. Susi dan Liza sama-sama hebat. Susi menikah dengan seorang Captain, ex. Pilot PTDI, berkebangsaan Swiss, sedangkan Liza menikah dengan pria Swedia.
Semua yang besar berawal dari yang kecil-kecil, dari tepi-tepi pasar atau medan “berkeringat” dengan spirit kewirausahaan yang tebal dan berani menjadi besar. Ya, besar itu berkaitan dengan teknologi, manajemen, team ahli, pengetahuan, dan tentu saja modal. Bedanya dengan para pengeluh, mereka tak pernah marah-marah saat kekurangan modal atau ditolak bank. Mereka selalu memperbaiki “kepercayaan” dengan kerja keras. Yang besar adalah tekad dan pikiran mereka, bukan uang.
Susi Air memulai dari ikan basah. Dari situ ia punya mental menerobos yang tak kalah dengan kaum lelaki. Ia menjadi pandai mengolah ikan, bahkan membuka restoran yang bersih dan enak di Pangandaran. Ia mengerti betul, ikan bernilai tambah tinggi bukanlah ikan asin atau ikan mati, melainkan ikan hidup. Ikan hidup hanya bisa diperdagangkan kalau ada pesawat dari kantong-kantong nelayan ke pasar tujuan. Itulah awalnya ia menaruh perhatian pada pesawat. Bukan pesawat pnumpang, tetapi yang bisa angkut ikan hidup.
Pepatah mengatakan “Kecerdasan dari pengetahuan baru berupa potensi belaka. Ia baru menjadi kekuatan bila keduanya bertemu dengan pintunya”. Susi membuka pintu restoran karena senang memasak. Di situ ia bertemu orang yang kelak menjadi mitra usahanya. Ia mendatangi Bank, mengetuk pintu mereka selama 4 tahun. Namun begitu kredit cair, niatnya mengangkut ikan dari Aceh berubah saat Aceh dilanda gelombang Tsunami. Bersama suaminya mereka menggunakan pesawat yang baru didapat kredit perbankannya itu untuk kegiatan humanitarian di Aceh.
Di luar dugaan, saat misinya selesai di Aceh, LSM-LSM Internasional justru meminta agar pesawatnya bisa dicarter. Sebuah pintu dibuka, pintu-pintu lainnya pun terbuka. Dari humanitarian effort dan dari angkutan ikan menjadi armada carter yang bagasinya bisa diisi lobster hidup. Dari 1 pesawat, menjadi 2, kini menjadi 45, justru di saat Adam Air bangkrut, Batavia Air dipailitkan, atau bahkan saat SQ menghentikan direct flight (nonstop services) Singapore-Newyork yang merugi (Oktober 2012). Belajar dari Susi, Liza dan Jeffri saya hanya ingin mengatakan, usaha itu ada tahapannya, dan setiap pertemuan selalu memberikan input untuk digeluti. Anda tak akan pernah tahu kemana muara ini akan berakhir, tetapi tahu semua langkah pasti ada muaranya.
Entrepreneur muda harus bisa lebih gigih membanting diri di bawah, jangan cepat-cepat membeli kemewahan padahal usaha masih sekedar gerobak di kaki lima yang di franchise kan. Lebih beranilah untuk ber-evolusi menjadi besar, berani memulai usaha yang banyak menyita pikiran dan pengetahuan, dan berani membuka pintu. Itu yang saya pelajari dari Jeffri, Susi dan Liza. Siapa takut?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar