Jalan-jalan tertentu di Jakarta pada Rabu (3/10) kemarin tak
sepadat hari-hari biasanya. Banyak karyawan memilih meliburkan dirinya
karena demo buruh secara massal. Di pusat-pusat industri di pinggiran
Jakarta dan kota-kota industri lainnya, ribuan buruh tumpah ke jalan
untuk menuntut kesejahteraan. Salah satu yang mereka tuntut adalah
menghapuskan sistem outsourcing.
Sudah sekian lama buruh di Indonesia menuntut penghapusan outsourcing yang
dinilai lebih banyak merugikan, mengganggu rasa keadilan dan
kesejahteraan dan dianggap menguntungkan sebagian pengusaha. Betulkah
outsourcing ini harus dihapuskan agar buruh bisa lebih sejahtera atau
sebenarnya ada masalah lain yang lebih penting dan harus diselesaikan
terkait outsourcing ini?
FENOMENA GLOBAL
Perlu dipahami para buruh bahwa outsourcing merupakan sebuah gejala global yang terjadi di seluruh dunia. Outsourcing muncul
karena dunia usaha semakin menyadari siklus bisnisnya bergerak semakin
pendek. Dari 30 tahun sekali menjadi 20 tahun sekali, lalu 10 tahun
sekali. Krisis semakin cepat terjadi, semakin berat. Perusahaan yang
memiliki sendirian ribuan karyawan terlalu riskan bila terjadi gangguan
dari luar, termasuk siklus krisis. Di lain pihak manajemen modern
mengajarkan, perusahaan yang unggul adalah perusahaan yang fokus pada
kompetensi intinya. Perusahaan tidak mau susah payah mengurusi terlalu
banyak hal yang tidak dikuasainya. Seperti bank yang keahliannya
mengurus aspek keuangan, dulu mengurus banyak hal termasuk secutity dan
catering. Sekarang dunia usaha ingin fokus ke core competency atau kompetensi inti, dan memilih menyerahkan hal-hal yang bukan keahlian intinya ke perusahaan lain.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri
sebenarnya telah menetapkan 5 jenis pekerjaan yang diperbolehkan
outsourcing yakni cleaning service, keamanan, transportasi, katering dan
pemborongan pertambangan. Selain 5 pekerjaan tersebut, pemerintah
melarang penggunaan tenaga kerja outsourcing. Padahal gejala outsourcing
di negeri ini sudah merambah ke segala bidang mulai dari R&D,
sekretariat, desain, travel, pengawalan, riset pasar, distribusi dan
sebagainya. Outsourcing telah terjadi begitu luas disini dan di seluruh
dunia.
Sejumlah perusahaan kemudian memilih menggunakan jasa outsourcing
untuk jasa-jasa tersebut dengan harapan bisa lebih fokus pada
kompetensinya, efisien sekaligus meminimalkan risiko ketika terjadi
krisis. Namun buruh bertanya apakah semua ini semata-mata ditujukan
untuk kpentingan pengusaha?
Praktik-praktik outsourcing banyak ragamnya dan
banyak diterapkan di berbagai negara maju. Misalnya nearshoring yang
berarti mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ke perusahaan-perusahaan negara
tetangga karena dianggap memiliki kedekatan baik dari segi budaya, zona
waktu maupun peraturan. Praktik nearshoring ini umumnya diterapkan
oleh perusahaan-perusahaan di Eropa Barat dengan menyerahkan
outsourcing kepada negara-negara Eropa Timur. Atau praktik offshore
sourcing yakni mencari outsourcing ke negara-negara lain yang upahnya
lebih rendah namun kualitasnya cukup baik. Ada pula Crowdsourcing yang
menyerahkan pekerjaan kepada sekelompok orang.
Yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa
outsourcing merupakan praktik yang lumrah diterapkan berbagai perusahaan
di dunia untuk merespons krisis. Hanya saja, praktik outsourcing ini
harus dikelola dengan baik agar tidak memunculkan masalah terutama
berkaitan dengan kesejahteraan buruh. Buruh yang tidak sejahtera
berarti bangsa juga tidak sejahtera.
KOMPETENSI OUTSOURCING
Yang harus dicermati sekarang adalah mengapa outsourcing di Indonesia
kerapkali mendapatkan penolakan. Saya kira salah satu penyebabnya
adalah karena tenaga kerja outsourcing yang disewa perusahaan banyak
menimbulkan persepsi bahwa mereka adalah warga ‘kelas dua’. Perusahaan
seringkali menerapkan dualisme: karyawan tetap dan karyawan outsourcing.
Para karyawan outsourcing kerap dipandang sebelah mata karena tingkat
kesejahteraannya jauh di bawah kesejahteraan pegawai tetap di
perusahaan tersebut pada kualifikai prkerjaan yang sama.
Tentu saja halin menmbulkan rasa ketidakadilan. Fasilitas dan
imbalan yang diterima pegawai outsourcing tidak setara dengan
kesejahteraan pegawai tetap. Mirip perbedaan yang dialami
pekerja-pekerja lokal di perusahaan-perusahaan asing yang
kesejahteraannya dibedakan. Masalah tunjangan kesehatan pun tidak
diperhatikan oleh perusahaan pengguna jasa tersebut. Mereka menyerahkan
masalah tunjangan kesehatan, kesejahteraan pekerja kepada perusahaan
outsourcing. Dan demi mendapatkan eisiensi, perusahaan outsourcing
banyak yang menghapuskan tunjangan kesejahteraan buruhnya, bahkan
menekan upahnya. Sebuah ketidakadilan yang kemudian sangat merugikan
buruh. Selama dualisme itu ada, rasa ketidakadilan sulit dihilangkan.
Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan outsourcing semata-mata
untuk mencari untung karena bisa menyewa tenaga kerja yang lebih murah,
bukan karena ingin fokus kepada kompetensi inti. Sementara perusahaan
outsourcing juga mencari untung dengan mencari tenaga-tenaga kerja
murah yang kompetensinya tidak sesuai. Jika sudah begini, maka buruh
outsourcing lah yang paling menderita. Padahal niat semula dengan
outsourcing adalah perusahaan bisa fokus pada kompetensi intinya
sehingga bisa lebih fokus, kinerja lebih baik, bisa berekspansi yang
pada akhirnya bisa membuat semua pihak semakin sejahtera.
Di tengah globalisasi saat ini, praktik outsourcing tidak mungkin
dihapuskan. Para buruh pun harus melihat outsourcing sebagai sebuah
realita yang harus dihadapi. Namun yang lebih penting adalah sistem
outsourcing harus dibenahi, ditata ulang. Outsourcing yang baik adalah
yang efisien, menguntungkan kedua belah pihak dan menyejahterakan buruh.
Tidak boleh ada perusahaan yang membayar tenaga kerja outsourcing di
bawah standar. Perusahaan outsourcing sebaiknya memiliki kompetensi dan
akreditasi dan dibuat standarnya secara nasional sehingga pada akhirnya
semua pihak tidak merasa dirugikan dan negeri ini kembali kompetitif.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar