Laman

Sabtu, 15 September 2012

Sunk Cost Trap - Jawapos 3 September 2012


Anda mungkin pernah membaca kata-kata yang diucapkan Warren Buffet yang bunyinya begini: “Kalau Anda terpuruk masuk ke dalam sebuah lubang, cara terbaik yang bisa Anda lakukan minimal berhenti menggali tanahnya.”Kalimat ini begitu powerful, terutama untuk menjelaskan betapa banyak CEO yang menggali lubang terus menerus ketika berhadapan dengan masalah, dengan mendiamkannya.  Mendiamkan masalah dapat menjadikan masalah bak bakteri pembusuk yang dapat menularkan kerusakan. Menuruti Warren Buffett, tentu saja minimal kita harus bisa menghentikannya.  

Tiga orang psikolog, Hammond, Keeney, dan Raiffa (2011) baru-baru ini melansir temuannya yang dalam metode pengambilan keputusan dikenal sebagai sunk-cost trap. Anda yang pernah belajar akutansi mungkin familiar dengan kata sunk-cost yang oleh sebagian penulis diterjemahkan (maaf, ini agak lucu bunyinya) menjadi biaya tenggelam.Maksudnya ya biaya yang sudah dikeluarkan (dan begitu besar) yang tak bisa diambil kembali. Ya dia hilang begitu saja. Nah disebut  trap atau perangkap karena tidak lain, para pemimpin sering kali berputar-putar menyesali biaya itu dengan membiarkannya ada, padahal assetnya sudah hilang, tenggelam.

Hilang, lenyap, atau ?
 Beberapa hari lalu saya melihat siaran berita di televisi yang menunjukkan bagaimana antusiasnya warga Cina menyaksikan perobohan dua buah gedung bertingkat tinggi di wilayahnya. Gedung bertingkat lebih dari 30 lantai itu dirobohkan dengan menggunakan dinamit sehingga dalam sekejap berubah menjadi puing-puing bebatuan.Mengapa para eksekutif pengelola gedung berani merobohkan kedua gedung itu? Bukankah masih bisa dipakai? Dan kalaupun sudah kumuh, apa sih susahnya direnovasi? 

 Begitu pikiran banyak orang.Sementara itu di banyak kota saya menyaksikan gedung-gedung kumuh dibiarkan begitu saja, bahkan sudah tidak dipakai sama sekali. Dibilang antik ya tidak, bahkan menjadi angker dan penuh sarang laba-laba.Tetapi saya pikir semua itu terjadi karena manusia selalu mengalami sunk-cost trap dalam pengambilan keputusan. Daripada dirubuhkan, ya lebih baik kita perbaiki saja, atau diamkan sajalah.  Walaupun kita harus membayar biaya-biaya perawatannya.Hammond, Keeney, dan Raiffa memberi beberapa contoh  yang saya kira ada banyak benarnya. Mereka menyebutkan apa yang dialami oleh para bankir yang menghadapi nasabah-nasabah bermasalah. Setelah kredit diberikan beberapa waktu kemudan kredit itu macet. Apakah Anda berpikir para bankir akan menghentikan dan menjualnya kepada pihak ketiga? Ternyata tidak, rata-rata bankir di seluruh dunia ternyata justru menyalurkan  kredit-kredit baru dengan harapan usaha yang dibantu itu bisa hidup kembali. Padahal kredit yang macet itu adalah sunk-cost, dan kredit macet itu bertemu dengan bankir yang tersandera sunk-cost trap.

Di sini lain, saya juga melihat ada begitu banyak CEO yang menghadapi karyawan-karyawan yang bermasalah dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kadang saya berpikir rumah mereka mungkin sudah bukan di sini lagi dan tentu saja mereka membutuhkan program karir kedua (the second career). Namun berapa banyakkah CEO yang berani melakukannnya dan membuatkan program pensiun dini agar karyawan-karyawan itu bisa segera pindah? Anda benar, ternyata sangat sedikit. Mayoritas CEO justru memilih cara-cara lain yang bisa membuat para karyawannya tetap bertahan, bahkan menggali lubang-lubang besar pada perusahaan, yang ibarat kapal berpenumpang besar lambat laun bisa mengakibatkan kapal benar-benar tenggelam.

Setelah membaca cerita di atas, saya harap Anda pun mulai mengerti mengapa semua pemimpin partai politik mendiamkan eksekutifnya yang bermasalah tetap menjadi pengurus partai. Mereka mendiamkannya sama sekali, bahkan justru membelanya. Dan kalau sudah ditangkap KPK dan dijadikan tersangka, paling-paling kalau mengerti orang-orang bermasalah itulah yang akan mengundurkan diri sendiri. Bukan diberhentikan. Ini jelas sekali.Pemimpin-pemimpin yang kita hormati itu, maaf, bukanlah good decision maker. Mereka terperangkap sunk-cost trap.  Dan sunk-cost trap adalah perangkap yang dialami oleh decision maker yang lemah yang kurang memiliki kemampuan multi-perspektif.Lantas apa yang dapat mereka lakukan? 

Mungkin sebaiknya Anda tunjukkan saja kolom ini pada mereka yang terperangkap di sana dan kalau ini terjadi pada Anda, saya minta agar Anda mulai berani melihat sebuah masalah dari berbagai perspektif. Namanya asset, kalau sudah tidak ada nilainya hendaknya Anda bijak menerimanya. Asset itu telah tenggelam dan Anda tak perlu berharap lagi, kecuali untuk alasan-alasan kemanusiaan.  Sunk-cost trap adalah psychological trap yang mungkin dialami oleh banyak pengambil keputusan yang buruk.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar