JOKO Widodo yang maju dalam pencalonan gubernur DKI
Jakarta mengatakan dirinya tak punya uang. Maka, ia pun menjadi bingung
saat dituding telah menjalankan politik uang.
Pertarungan
antara kubu Joko Widodo-Basuki T Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
masih terus berlangsung, seperti halnya yang dihadapi hampir semua
kontestan pilkada dari Aceh hingga Papua. Dalam banyak kesempatan selalu
ditemui babak selanjutnya.
Meskipun demikian, reaksi yang
muncul dari setiap pihak bisa berbeda. Ada yang menunjukkan bahwa
mereka memiliki sikap pemenang yang berorientasi ke depan dan
introspektif terhadap masa lalu, ada yang bertarung dengan mentalitas
pecundang yang berorientasi ke masa lalu dan menyalahkan orang lain.
Kalau
diperhatikan, hampir semua politisi yang bertarung pada era demokrasi
ini tidak siap menyambut kemenangan. Yang menang gagal menjalankan apa
yang dijanjikan dan bila kalah selalu menyalahkan orang lain. Kalau
mencari uang gagah berani, tetapi bila tertangkap melakukan kejahatan
enggan bertanggung jawab.
Belajar akui kesalahan
Lima
belas tahun yang lalu saat masih bersekolah di Amerika Serikat, anak
saya pulang ke rumah dengan muka terluka. Begitu bertemu ibunya, ia
menangis sambil memeluk. ”It’s OK mommy, it was my mistake. I was
wrong.” Saat kembali ke Indonesia ia suka protes. ”Mengapa teman-teman
aku suka tak mengakui kesalahan? Mereka pun selalu mengulanginya.”
Sebagai
orangtua, saya tentu kesulitan menjawab. Akan tetapi, saya berpikir,
anak-anak belajar dari orangtua dan orangtua belajar dari para pecundang
yang tidak siap menerima kekalahan.
Jawaban itu akhirnya
saya peroleh dari Denis Waitley (1986) yang menulis ”Psychology of
Winning” hasil studi Kassam, Morewedge, Gilbert, dan Wilson
(Psychological Science, April 2011). Saya jadi mengerti mengapa Presiden
Amerika Serikat yang kalah dengan gagah berani mengucapkan selamat
kepada pemenang hanya sesaat setelah hasil polling mengumumkan
kekalahannya. Saya juga jadi mengerti, mengapa anak-anak di dunia Barat
lebih sering mengatakan ”saya yang salah”, sementara di sini semakin
banyak orang yang mengatakan ”bukan salah saya”.
Dari
berbagai literatur diketahui bahwa di negara-negara demokratis, selain
komunikasi yang asertif, pada anak-anak selalu ditanamkan sikap-sikap
pemenang. Seorang pemenang bukan otomatis memenangi persaingan,
melainkan yang menjaga kehormatannya.
Orang kalah
Seingat
saya, di sekolah anak saya dulu, guru selalu mengingatkan bahwa pada
akhirnya orang yang kalah bukanlah yang terpenjarakan atau tergusur dari
kursinya, melainkan orang yang melemparkan kesalahannya kepada pihak
lain.
Ketika seorang pemenang mencari cara ”bagaimana
menyelesaikan” masalahnya, orang- orang yang kalah ”sibuk mencari
alasan”. Tak banyak pemimpin yang menyadari bahwa mereka telah menjadi
”bagian dari masalah” dan bukan solusi.
Seorang pemenang
selalu menghormati orang-orang yang lebih hebat dan mau belajar. Ia
dihormati bukan karena menang atau dicurangi, melainkan karena
menghormati kemenangan, menjaga kehormatan.
Sementara
orang yang mengabaikan kehormatannya selalu merendahkan keberhasilan
orang lain dan merasa lebih hebat dari siapa pun juga. Wajar bila mereka
gemar mencegah agar orang lain berhasil. Mereka menggunakan argumentasi
omong kosong dengan nada keras. Berbeda dengan pemenang yang
argumentasinya kuat, tetapi disampaikan dengan lembut dan santun.
Mau
ke mana Indonesia kalau para politisi dan pemimpinnya tak punya
karakter pemenang? Apa jadinya kalau generasi muda tidak dipersiapkan
untuk menjadi pemenang? Bangsa yang kalah akan selalu curiga dan
memusuhi bangsa-bangsa yang lebih hebat dan beranggapan bahwa ada peran
faktor keberuntungan. Padahal, pemenang melihat keberuntungan sebagai
buah dari kerja keras dan disiplin. Bangsa yang kalah mudah tersulut
emosi, tetapi ragu-ragu bertindak.
Rhenald kasali Guru Besar FEUI; Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar