Gejala berpikir “di belakang kurva” semakin menonjol belakangan ini.
Gejala ini ditandai dengan keputusan-keputusan yang bersifat reaktif,
instant, short term (jangka pendek), jalan pintas, populis,
emosional, dan tentu saja tidak visioner. Tidak visioner, tidak
terkoordinasi satu dengan lainnya, tidak didasarkan fakta-fakta yang
mendalam tentang keadaan di masa depan (intelligence data gathering), tidak menyatu, tidak didukung leadership yang kuat, dan tentu saja tidak kritis.
Bangsa-bangsa
yang besar atau yang merdeka memilih kemandirian. Dan kemandirian
berarti hidup “di depan kurva” dengan mengantisipasi persoalan-persoalan
yang akan dihadapi di depan untuk menyelamatkan bangsa dari
persoalan-persoalan yang lebih buruk.
The Pain or The Gain
Dalam literatur strategic thinking dikenal istilah “ ahead of the curve”
yang berarti menduduki posisi 10% teratas. Kalau sebuah data besar
dipetakan, maka biasanya posisi 10% teratas ada di sisi sebelah kanan.
Dan mereka yang duduk di posisi 10% teratas itu disebut berada di kepala
kurva.
Bangsa-bangsa yang duduk di kepala kurva diketahui memiliki cara berpikir jauh ke depan (thinking ahead) dan berani menghadapi “pain” (rasa sakit) untuk mendapatkan “gain”
(manfaat dikemudian hari). Sebaliknya, mereka yang menduduki posisi 10%
di sebelah kiri punya kecenderungan berpikir di belakang kurva seperti
yang saya sebut di atas.
Orang-orang yang berpikir di belakang
kurva punya kecenderungan enggan bertarung melawan kesulitan, dan bila
menghadapi tantangan selalu melihat rasa sakit (pain) yang besar ketimbang potensi “gain” di masa depan.
Seperti
itulah Philip Delves Broughton (2008) menggambarkan mahasiswa Harvard
yang kelak memimpin perusahaan-perusahaan besar dan rela membayar US$
175.000 selama dua tahun di Boston, plus kurang tidur dan bertarung
melawan rasa khawatir. Bukunya Ahead of The Curve (Two Years at Harvard
Business School) bercerita tentang apa-apa saja yang ia hadapi selama
dua tahun di Harvard. Buku ini berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh
Joseph H. Ellis (2007) yang walaupun berjudul sama lebih berbicara
tentang perilaku data hari ini yang cenderung membingungkan, dengan
indikator-indikator saling bertentangan, persis seperti data pooling
pilkada, serta petunjuk-petunjuk yang menyesatkan.
Ellis
menempatkan data-data itu pada konteksnya dan berkesimpulan, hanya bila
seseorang berani melepaskan jiwanya dari sejarah dan kegalauan, maka ia
baru bisa menjelajahi kurva baru di masa depan. Tentu saja hidup di
depan kurva bagi kedua penulis itu adalah hidup yang penuh tantangan
yang bila dijalankan akan membawa bangsa itu terus ke depan. Sementara
yang menganut cara berpikir di belakang kurva akan terus menjadi bodoh,
dan sering tertawa sendiri mentertawakan kesulitannya.
Tempe, Mobnas dan BBM
Ada benang merah yang sama antara pengambilan keputusan tentang
pembebasan bea masuk kedelai saat pengusaha tempe mogok produksi dengan
rangkaian kebijakan sejumlah pihak pada produksi mobil-mobil nasional
yang marak belakangan ini (dan segera setelah itu menjadi museum) dengan
keributan para politisi tentang subsidi BBM.
Semua
solusi yang diambil jelas sekali mencerminkan cara berpikir jangka
pendek, instant, populis, reaktif dan jalan pintas. Tidak banyak
pemimpin yang berpikir bahwa cara terbaik mendapatkan kedelai untuk
kepentingan industri tempe adalah mengembalikan kemerdekaan para petani.
Namun karena para petani tersebar luas di seantero nusantara (dan
kebijakannya ada di tangan para Gubernur dan Bupati), dan urusan
pembenahan pertanian membutuhkan strategi menyeluruh memerangi para
mafia (mulai dari mafia pupuk, importir, pestisida dan irigasi) sungguh
merepotkan, maka diambilah jalan paling sederhana yaitu memangkas habis
bea masuk yang sudah kecil itu (5%).
Lantas apakah dampaknya bagi ketersediaan kedelai dan masa depan pertanian Indonesia ?
Hal serupa juga tampak dalam langkah-langkah produksi mobil-mobil
nasional yang belum mempersiapkan banyak hal, atau subsidi BBM yang
ternyata hanya dinikmati rakyat Indonesia bagian barat dan sebagian di
tengah. Rakyat yang hidup di bagian timur yang justru memiliki cadangan
sumber daya energy yang besar justru harus membayar BBM empat kali lebih
mahal dari harga subsidi karena infrastruktur di daerah-daerah itu
tidak sebaik di Pulau Jawa.
Kalau diurut kebelakang
dari ke depan maka cara-cara bekerja serupa tampak jelas dalam banyak
kasus. Mulai dari bagaimana Pemda DKI memindahkan para peziarah di makam
Mbah Priok, sampai penutupan terminal bayangan di jalan tol Jatibening.
Dari pembuatan iklan parawisata Indonesia di stasiun televisi BBC (yang
sekedar muncul) sampai kebijakan impor beras dan aneka pangan lainnya.
Dari upaya menggantikan BBM dengan BBG yang dilakukan tanpa persiapan
sampai impor garam secara besar-besaran.
Ada kesan
kuat bangsa ini telah terperangkap oleh cara berpikir yang reaktif
dengan sudut pandang di belakang kurva. Ini berarti ketidakpastian di
masa depan yang harusnya bisa dilihat, telah diabaikan karena
macam-macam sebab. Sebab pertama, para pemimpin “buta” melihat fakta,
atau “takut” memandang realita yang harus dihadapi. Kedua, Indonesia
telah tersandera oleh system politik yang mengarah pada kegagalan
bertindak. Ketiga, negeri ini telah dikuasai oleh para mafia yang
mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang terabaikan oleh
negara. Keempat, tidak ada “integrator” yang berperan menyatukan seluruh gerak vertikal – horizontal dalam system managemen pemerintahan pusat maupun daerah.
Atau, keempat itu semuanya hadir karena absennya strategic planning
dalam pembangunan yang menyatukan seluruh gerak bangsa dengan
kepemimpinan yang kuat. Pembicaraan saya dengan para CEO menyimpulkan,
keadaan yang terakhir itulah yang sangat dirasakan. “Stakeholder” Indonesia “sangat bermain” dan “liar”. Kinilah saatnya untuk memotong semua “Red Tapes” yang membelenggu Indonesia. Melahirkannya kembali, memerdekakan dari belenggu yang mengikat pikiran di belakang kurva.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar