Laman

Sabtu, 21 Juli 2012

Perebutan Pulau Pala - Sindo 12 Jui 2012

Kenaikan terus menerus harga minyak pala dalam beberapa bulan terakhir ini (dari sekitar Rp 700.000-an, Februari 2012) menjadi sekitar Rp 850.000,- perkilogram (Juli 2012) mengingatkan saya pada kisah pertukaran pulau Run (kepulauan Banda, Maluku Tengah) yang dikuasai Belanda dengan pulau Manhattan (New York) yang dikuasai Inggris.

Kisah pertukaran itu diceritakan Giles Milton dalam bukunya: Nathaniel's Nutmeg. Intrik dagang, diplomasi bisnis, kekuatan maritim, dan tentu saja darah dan perang mewarnai keributan antara kedua negeri penjajah itu. Maklum, harga biji dan bunga pala saat itu lebih mahal dari harga emas. Dan dunia mengenal Run satu-satunya pulau yang menghasilkan pala saat itu.

Wajar saja kapten Nathaniel Courthope diutus raja Inggris untuk menguasai pulau Run yang sudah lebih dulu dikuasai Belanda. Belanda sendiri merampas pulau Run dari Portugis. Belanda menaruh ribuan serdadu di pulau yang panjangnya hanya 3 kilometer itu, sementara Nathaniel hanya membawa puluhan pelaut. Setelah 4 tahun bertempur, ia pun tewas dibunuh (1620). Namun sejak itu Inggris menempuh jalur diplomasi. Sampai diputuskan untuk menukarnya dengan pulau Manhattan yang sekarang dikenal sebagai mesin uang Amerika Serikat. Bahkan setelah perang Inggris-Belanda pertama berakhir (1652-1654), melalui perjanjian Westminster disepakati pulau Run harus diserahkan penuh kepada Inggris.

Tetapi upaya itu terus gagal karena Belanda melihat potensi bisnis pala begitu besar. Setelah dibumihanguskan dan terjadi genocide terhadap penduduk pulau Run, akhirnya Belanda memilih mengembalikan Manhattan dan tetap menguasai pulau Run. Pengembalian itu ditandai dengan perjanjian Breda setelah perang Inggris-Belanda kedua (1665-1667) berakhir.

Cerita yang diangkat oleh Giles Milton itu sampai sekarang sering diceritakan oleh eksekutif dari Inggris. Pesan penting yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana saja, yaitu betapa pulau kecil yang tidak kita urus dengan serius di sini itu sebenarnya sangat mahal. Ia pernah dihargai senilai kota kaya di dunia: New York.

Adalah Duke of York (James II) yang mengganti nama New Amsterdam yang telah dikuasai Belanda menjadi New York yang dihargai semahal pulau Run setelah pulau jatuh kembali ke tangan Belanda.

Dulu Pala, Sekarang Minyak
Seperti pala, minyak bumipun sekarang mengalami nasib serupa. Dalam perdagangan pala, meski Indonesia menguasai 70% produksi pala dunia, menurut para pelaku pasar, yang lebih dominan menetapkan harga minyak pala dunia adalah Grenada (market share ±20%). Kesejahteraan berpindah justru disaat harga sedang bagus, pohon-pohon pala banyak tidak kita urus.

Demikian pulalah minyak bumi. Tak banyak orang yang menyadari bahwa Indonesia sudah tidak menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC) lagi. Juga tak banyak yang menyadari bahwa terdapat perbedaan mendasar antara minyak mentah (crude oil) dengan BBM. Tanpa insentif keekonomian yang memadai (IRR yang positif) untuk membangun kilang-kilang dan tanpa keseriusan membangun infrastruktur secara progresif, terlalu mahal bagi Indonesia untuk mengubah minyak mentahnya sendiri menjadi BBM yang siap dipakai rakyat.

Untuk mengubah produk diperlukan investasi besar, dan untuk mengerahkan produk dari kilang ke pasar diperlukan infrastruktur yang memadai. Tanpa itu, kita hanya saling curiga, dan mempertanyakan keabsahan angka keekonomian.

Kembali pada kejayaan minyak pala, saya kita Indonesia perlu menjaga seluruh kekayaan yang dimilikinya dengan terus melakukan riset-riset terapan dan mendorong investasi-investasi baru dalam industri pengolahan. Sekedar diketahui, selain Coca Cola, pembeli terbesar minyak pala, fuli dan segala macam produk turunannya adalah industri-industri yang bernilai tambah tinggi yang pasarnya tak pernah surut. Parfum, kosmetik, farmasi, dan makanan olahan adalah industri pemakai utama produk-produk dari pala.

Namun kalau berkunjung ke berbagai sentra penghasil biji pala di tanah air, kita masih bisa menyaksikan cara pemetikan dan penyimpanan yang seadanya. Belum lagi mesin-mesin penyulingan yang sudah ketinggalan jaman, membuang terlalu banyak energi dan menghasilkan rendemen yang masih bisa ditingkatkan. Demikian pula kontainer-kontainer yang dipakai dan diproses pengirimannya, belum banyak perhatian diberikan.

Kalau Anda berkunjung ke Grenada, sebuah pulau kecil di Karibia, Anda akan tertegun. Meski produksinya kecil, pala di sini ditanam dalam perkebunan-perkebunan (estate) yang tertata dengan baik dan dipaketkan pemerintah setempat menjadi kunjungan wisata yang indah. Padahal bibit pala di Grenada (juga di Malaysia, India, Ceylon, dan Srilangka) semua berasal dari pulau Run yang dibawa oleh tentara Inggris. Di Indonesia dewasa ini pala ditanam di beberapa daerah seperti sekitar Bogor-Sukabumi, Aceh, Sulawesi Utara, dan beberapa pulau di kepulauan Maluku.

Rumah Perubahan bersama dengan penduduk aseli Pulau Buru menanam kembali pohon-pohon pala yang mulai banyak dilupakan itu. Mercy Corps, sebuah social enterprise dari Amerika Serikat bahkan membuat pusat riset di pulau Seram untuk menghasilkan benih-benih unggul pohon pala. Yang masih belum banyak saya saksikan adalah pusat-pusat riset untuk menghasilkan minyak pala berkualitas atau produk-produk turunannya yang kelak dipakai untuk pembuatan obat batuk, pasta gigi, berbagai jenis obat-obatan dan essential  oil. Dalam hal ini, negeri tetangga, Singapura terlihat lebih menaruh perhatian.

Saya tertegun melihat universitas-universitas di Singapura mengembangkan riset-riset berbasiskan impak yang didukung oleh otonomi kampus yang besar. Sementara di sini, para pendidik tengah dihantui oleh tangan-tangan kekuasaan yang terus bermain dengan kekuatan politik untuk menguasai kampus. Sepertinya bukannya rektor yang kini dimiliki beberapa kampus, melainkan diktator yang haus kedudukan dan kuasa. Kalau sudah begitu, mana bisa universitas kita menunjukkan hasil risetnya dengan baik?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar