Kenaikan terus menerus harga minyak pala dalam beberapa bulan
terakhir ini (dari sekitar Rp 700.000-an, Februari 2012) menjadi sekitar
Rp 850.000,- perkilogram (Juli 2012) mengingatkan saya pada kisah
pertukaran pulau Run (kepulauan Banda, Maluku Tengah) yang dikuasai
Belanda dengan pulau Manhattan (New York) yang dikuasai Inggris.
Kisah
pertukaran itu diceritakan Giles Milton dalam bukunya: Nathaniel's
Nutmeg. Intrik dagang, diplomasi bisnis, kekuatan maritim, dan tentu
saja darah dan perang mewarnai keributan antara kedua negeri penjajah
itu. Maklum, harga biji dan bunga pala saat itu lebih mahal dari harga
emas. Dan dunia mengenal Run satu-satunya pulau yang menghasilkan pala
saat itu.
Wajar saja kapten Nathaniel Courthope diutus
raja Inggris untuk menguasai pulau Run yang sudah lebih dulu dikuasai
Belanda. Belanda sendiri merampas pulau Run dari Portugis. Belanda
menaruh ribuan serdadu di pulau yang panjangnya hanya 3 kilometer itu,
sementara Nathaniel hanya membawa puluhan pelaut. Setelah 4 tahun
bertempur, ia pun tewas dibunuh (1620). Namun sejak itu Inggris menempuh
jalur diplomasi. Sampai diputuskan untuk menukarnya dengan pulau
Manhattan yang sekarang dikenal sebagai mesin uang Amerika Serikat.
Bahkan setelah perang Inggris-Belanda pertama berakhir (1652-1654),
melalui perjanjian Westminster disepakati pulau Run harus diserahkan
penuh kepada Inggris.
Tetapi upaya itu terus gagal karena Belanda melihat potensi bisnis pala begitu besar. Setelah dibumihanguskan dan terjadi genocide
terhadap penduduk pulau Run, akhirnya Belanda memilih mengembalikan
Manhattan dan tetap menguasai pulau Run. Pengembalian itu ditandai
dengan perjanjian Breda setelah perang Inggris-Belanda kedua (1665-1667)
berakhir.
Cerita yang diangkat oleh Giles Milton itu sampai sekarang sering diceritakan oleh eksekutif dari Inggris.
Pesan penting yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana saja, yaitu
betapa pulau kecil yang tidak kita urus dengan serius di sini itu
sebenarnya sangat mahal. Ia pernah dihargai senilai kota kaya di dunia:
New York.
Adalah Duke of York (James II) yang mengganti
nama New Amsterdam yang telah dikuasai Belanda menjadi New York yang
dihargai semahal pulau Run setelah pulau jatuh kembali ke tangan
Belanda.
Dulu Pala, Sekarang Minyak
Seperti
pala, minyak bumipun sekarang mengalami nasib serupa. Dalam perdagangan
pala, meski Indonesia menguasai 70% produksi pala dunia, menurut para
pelaku pasar, yang lebih dominan menetapkan harga minyak pala dunia
adalah Grenada (market share ±20%). Kesejahteraan berpindah justru disaat harga sedang bagus, pohon-pohon pala banyak tidak kita urus.
Demikian
pulalah minyak bumi. Tak banyak orang yang menyadari bahwa Indonesia
sudah tidak menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC) lagi.
Juga tak banyak yang menyadari bahwa terdapat perbedaan mendasar antara
minyak mentah (crude oil) dengan BBM. Tanpa insentif
keekonomian yang memadai (IRR yang positif) untuk membangun
kilang-kilang dan tanpa keseriusan membangun infrastruktur secara
progresif, terlalu mahal bagi Indonesia untuk mengubah minyak mentahnya
sendiri menjadi BBM yang siap dipakai rakyat.
Untuk
mengubah produk diperlukan investasi besar, dan untuk mengerahkan produk
dari kilang ke pasar diperlukan infrastruktur yang memadai. Tanpa itu,
kita hanya saling curiga, dan mempertanyakan keabsahan angka
keekonomian.
Kembali pada kejayaan minyak pala, saya kita
Indonesia perlu menjaga seluruh kekayaan yang dimilikinya dengan terus
melakukan riset-riset terapan dan mendorong investasi-investasi baru
dalam industri pengolahan. Sekedar diketahui, selain Coca Cola, pembeli
terbesar minyak pala, fuli dan segala macam produk turunannya adalah
industri-industri yang bernilai tambah tinggi yang pasarnya tak pernah
surut. Parfum, kosmetik, farmasi, dan makanan olahan adalah industri
pemakai utama produk-produk dari pala.
Namun kalau
berkunjung ke berbagai sentra penghasil biji pala di tanah air, kita
masih bisa menyaksikan cara pemetikan dan penyimpanan yang seadanya.
Belum lagi mesin-mesin penyulingan yang sudah ketinggalan jaman,
membuang terlalu banyak energi dan menghasilkan rendemen yang masih bisa
ditingkatkan. Demikian pula kontainer-kontainer yang dipakai dan
diproses pengirimannya, belum banyak perhatian diberikan.
Kalau
Anda berkunjung ke Grenada, sebuah pulau kecil di Karibia, Anda akan
tertegun. Meski produksinya kecil, pala di sini ditanam dalam
perkebunan-perkebunan (estate) yang tertata dengan baik dan
dipaketkan pemerintah setempat menjadi kunjungan wisata yang indah.
Padahal bibit pala di Grenada (juga di Malaysia, India, Ceylon, dan
Srilangka) semua berasal dari pulau Run yang dibawa oleh tentara
Inggris. Di Indonesia dewasa ini pala ditanam di beberapa daerah seperti
sekitar Bogor-Sukabumi, Aceh, Sulawesi Utara, dan beberapa pulau di
kepulauan Maluku.
Rumah Perubahan bersama dengan penduduk
aseli Pulau Buru menanam kembali pohon-pohon pala yang mulai banyak
dilupakan itu. Mercy Corps, sebuah social enterprise dari
Amerika Serikat bahkan membuat pusat riset di pulau Seram untuk
menghasilkan benih-benih unggul pohon pala. Yang masih belum banyak saya
saksikan adalah pusat-pusat riset untuk menghasilkan minyak pala
berkualitas atau produk-produk turunannya yang kelak dipakai untuk
pembuatan obat batuk, pasta gigi, berbagai jenis obat-obatan dan essential oil. Dalam hal ini, negeri tetangga, Singapura terlihat lebih menaruh perhatian.
Saya
tertegun melihat universitas-universitas di Singapura mengembangkan
riset-riset berbasiskan impak yang didukung oleh otonomi kampus yang
besar. Sementara di sini, para pendidik tengah dihantui oleh
tangan-tangan kekuasaan yang terus bermain dengan kekuatan politik untuk
menguasai kampus. Sepertinya bukannya rektor yang kini dimiliki
beberapa kampus, melainkan diktator yang haus kedudukan dan kuasa. Kalau
sudah begitu, mana bisa universitas kita menunjukkan hasil risetnya
dengan baik?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar