Laman

Selasa, 10 Juli 2012

Heidiland - Jawapos 9 Juli 2012

Minggu – minggu ini semua bandara Indonesia penuh tak karuan. Pesawat-pesawat murah (low cost carrier) penuh, kelas ekonomi padat, bahkan di kelas bisnis pun diisi penumpang anak-anak. Kadang ada rasa galau dalam pikiran saya, bagaimana kelas menengah baru kita menata keuangannya dan mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang masih di usia sekolah dasar sudah diberi kenikmatan duduk di kelas bisnis, ditemani babysitter, dan bebas meminta apa saja pada awak kabin. Dilayani seperti layaknya pengusaha dan menggunakan ipad pula.  Orangtua muda, sudah mapan, anak-anak kebagian hidup enak.

Di Eropa, saya tak melihat anak-anak kecil bermain ipad. Ipad adalah alat bekerja kaum profesional yang dipakai untuk bekerja.  Sementara di sini anak-anak balita sudah menjinjing ipad, walau hanya untuk bermain game. Di Eropa anak-anak tetaplah anak-anak, ikut bermain dan berlibur bersama orang tua, mendengar cerita, dan berlatih menjadi anak-anak yang kritis. Selain dilatih  komunikasi assertive seperti yang saya ceritakan minggu lalu, mereka juga dilatih berpikir kritis. Saya bertemu puluhan rombongan anak sekolah yang tetap ceria bersama guru mereka di sebuah kaki gunung yang indah di Alpen, sekitar dua jam dari kota bisnis Zurich di Heidiland.

Seorang guru yang membawa anak-anaknya di gunung yang sejuk itu mengajak anak-anak berdiskusi di atas rumput yang hijau. Mereka mendengarkan cerita tentang kisah anak yatim piatu bernama Heidi yang dititipkan bibinya kepada kakek yang tak pernah mengenalnya, yang lalu berteman dengan seorang gembala domba kanak-kanak bernama Peter.  Mungkin semasa kecil Anda sempat menyaksikan film serialnya di televisi yang diputar setiap hari minggu pagi.

Saya heran, cerita anak desa yang dibesarkan di kampung bersama domba, sapi dan ladang rumput seperti ini masih dianggap penting di Eropa, padahal mereka sudah hidup dalam peradaban industri dan keuangan yang canggih. Sementara guru-guru di sini mulai melupakan cerita tentang Sangkuriang, Dayang Sumbi, Malin Kundang dan seribu cerita lokal yang kaya pesan moral itu.  Anak-anak kita lebih larut dengan cerita Power Rangers dan serial elektronic games lainnya.

Wisata Cerita
Apa yang membuat Swiss tetap menarik bagi kunjungan wisata ternyata bukan hanya sekedar danau dan gunungnya yang indah. Kisah tentang Heidi yang ditulis oleh Alm. Johanna Spyri hampir 2 abad yang lalu (ia meninggal dunia 1901) menjadi cerita hidup yang terus menarik wisatawan. Ceritanya sebenarnya sangat sederhana, tetapi dari kesederhanaan itulah para pembuat skenario film mengembangkan gagasan-gagasan kreatifnya. Setidaknya ada 11 film yang telah dibuat tentang Heidi, masing-masing oleh film maker Amerika, Jerman, Swiss, Austria, dan Jepang. Bahkan filmnya juga dibuat oleh Disney dan versi kartunnya oleh film maker Jepang.

Anak-anak kecil yang mengitari guru diajari memahami cerita, tetapi saat yang bersamaan mereka juga diajari cara berfikir kritis. Saya kira inilah yang tidak banyak diajari di sini. Guru cenderung mengajar satu arah dan tak boleh dibantah. Murid harus menelan kebenaran apa adanya menurut versi guru.

Di barat anak-anak sejak kecil diajar menantang cara berpikir guru secara santun. Mereka bukan cuma bertanya tetapi mempertanyakan. Mereka mempertanyakan plot cerita dan gambaran fisik tentang Heidi yang memang ditampilkan berbeda-beda dalam setiap film. Ada Heidi yang berambut lurus dan ada Heidi yang berambut ikal. Warna kulitnya pun tidak sama. Ada yang bule bertotol – totol, ada yang warna kulitnya agak gelap seperti gambaran penduduk yang ditemui di dataran tinggi itu.  Mereka menanyakan kebenaran itu dan menggali bukti-bukti di sekitar daerah pegunungan. Walau itu hanya sebuah cerita yang dikarang Yohanna, setiap murid tertarik untuk menggali kebenarannya. Mereka belajar tentang proses berpikir ilmiah, mencari proof dan membentuk reasoning,  bukan menghafal pesan guru atau menghitung tambah-tambahan.

Anak-anak sejak kecil diajar mempertanyakan kebenaran, menguji asumsi-asumsi, beragumentasi, menganalisis dan mengevaluasi. Cara berpikir seperti inilah yang kelak akan menghasilkan anak-anak kreatif yang kritis. Yang mereka ajarkan bukanlah dogma, melainkan cara berpikir. Itu sebabnya Minggu lalu saya katakan memorizing (menghapal) bukanlah cara belajar yang baik. Memorizing yang ditanam sejak TK sampai ke ujian nasional tidak akan menghasilkan bangsa yang unggul. Saya suka termenung saat melihat orangtua yang begitu bangga memamerkan anak-anak yang pandai menghafal nama-nama negara dan benderanya.  Maaf, bukannya tidak penting hafalan seperti itu, namun ada yang jauh ebih penting untuk mengantar bangsa ini ke dalam peradapan modern yang demokratis.  Dengan memberikan hafalan, mainan yang mudah didapat dan segala yang tidak penting itu kita hanya akan mencetak “passenger” alias penumpang yang sekedar hidup dari pekerjaan orang lain.

Sikap mental “passenger” yang dimulai dari pendidikan “menghafal” seperti ini sangat rawan dan harus segera diganti, dimulai dari guru-guru yang lebih terbuka dan lebih cerdas memakai profesinya. Jangankan matematika, belajar agama saja, anak-anak harus diajar berpikir kritis agar tidak mudah terinduksi aliran-aliran sesat, musyrik, terorisme, bahkan hal-hal yang menyangkut dendam pribadi perorangan yang ditanam melalui kebencian dalam beragama.

Singkat cerita, berlibur bersama keluarga adalah waktu yang menyenangkan yang membuat kita berkumpul dalam suasana relax bersama keluarga. Namun di balik itu, saya kira ini pulalah saatnya Anda mengajarkan moralitas dan cara berpikir kreatif dan kritis pada anak-anak.  Sikap kritis dimulai dengan keberanian bertanya, memeriksa kebenaran, keakurasian, presisi, kedalaman dan keluasan cakrawala berpikir, dan tentu saja penting mendidik anak-anak jangan sampai mereka kehilangan drive dalam memacu kehidupan.

 Jadikanlah mereka sebagai “a driver”, bukan “a passenger”.  Seorang driver tak tahu arah jalan, mereka hanya hidup untuk bersenang-senang dan bergantung pada orang lain, sebab dalam perjalanan itu dia boleh mengantuk dan tertidur.  Sebaliknya, seorang driver adalah orang yang "berpikir" dan mengambil resiko.  Berikan kepercayaan padanya, maka ia akan menggunakan pikirannya. Jangan berikan kenikmatan sebelum saatnya, karena orang yang sudah mendapatkan seluruh kenikmatan akan hidup dalam zona nyaman yang melenakan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar