Laman

Jumat, 25 Januari 2013

Emas Diuji dengan Api (Manusia Diuji dengan Uang) - Jawa Pos 21 Januari 2013


Pepatah Cina kuno itu sudah lama saya dengar, namun keduanya menjadi masalah besar belakangan ini. Dimana-mana di atas cincin api ini tiba-tiba orang menemukan emas. Dari daerah yang tenang saat pertama kali saya menjejakkan kaki hampir 2 tahun yang lalu, Pulau Buru tiba-tiba berubah bak desa kota yang siap ribut. Apalagi penyebabnya kalau bukan emas.

Hanya dengan bekal mimpi saja, seorang desa yang lugu bisa benar-benar menemukan emas. Namun berita itu cepat menyebar. Dari pulau terpencil dengan 2 kabupaten berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, datanglah penduduk dari pulau-pulau seberang untuk mengadu nasib. Jarak 8 jam yang biasa ditempuh dengan kapal Fery dari Ambon bukan halangan bagi orang-orang Maluku untuk erngadu nasib di Gunung Botak - Pulau Buru.

Ekonomi Porak Poranda
Tetapi pendatang-pendatang itu tak memiliki keahlian mendulang, apalagi mencari emas. Maka muncullah investor-investor swasta yang kerjanya mendatangkan buruh-buruh penambang dari daerah-daerah emas. Dari Sulawesi Utara tiba-tiba merapat ratusan orang hingga ribuan. Lalu datang lagi dari Bombana (Sulawesi Tenggara) yang juga biasa mencari emas. Ledakan penduduk yang datang dengan tiba-tiba merubah segala-galanya.

Rumah penduduk berubah menjadi losmen. Di tepi-tepi jalan muncul kegiatan mengayak emas. Air raksa-nya dibuang begitu saja ke tanah dan menembus ke mata-mata air yang kelak diminum anak-anak. Buruh-buruh tani yang dibawa para transmigran, yang biasa bekerja di sawah tiba-tiba menghilang. Mereka semua beralih profesi menjadi penambang emas. Hanya berbekal seratus ribu rupiah, sepuluh gram emas minimal bisa didapat. Apa akibatnya? Padi-padi yang sudah menguning dibiarkan hancur karena tak ada buruh tani yang bekerja. Sawah tak terurus. Lumbung padi Maluku itu tiba-tiba tak menghasilkan apa-apa. Harga beras pun melonjak 4-5 kali lipat. Tetapi entah mengapa inflasi besar-besaran di Pulau Buru tak pernah jadi diskusi ekonomi nasional.

Orang-orang tambang yang datang sporadis itu memborong apa saja. Ya sepeda motor, mobil, alat-alat berat, pakaian, penginapan sampai makanan. Harga-harga melambung cepat sekali. Dan begitu jumlah pendatang tak terkendali masalah keamanan pun muncul. Jalan menuju Gunung Botak rusak berat, sementara manusia histeris melihat emas. Konflik tak dapat dihindarkan, lalu polisi pun berdatangan. Tetapi sudah menjadi rahasia umum kalau dalam suasana ini selalu ada oknum aparat yang ikut bermain.
Pendatang diusir paksa, dinaikkan ke atas kapal. Tetapi esoknya datang lagi rombongan yang lebih besar.

Kali ini rombongan didatangkan dari Tasikmalaya. Konon mereka lebih bisa diterima karena “bagi hasil” yang ditawarkannya lebih masuk akal. Lagi-lagi semakin banyak pendatang, dan konflik tak dapat dihindarkan. Hanya dalam tempo setahun masyarakat adat yang semula begitu lugu dan bersahabat dengan alam mulai mengerti uang. Perangainya pun berubah. Ketika seseorang tewas tertombak, pecahlah kerusuhan hebat. Gunung Botak pun ditutup, pendatang diusir. Tetapi mereka tidak pergi, mereka hanya beristirahat sejenak di rumah-  rumah penduduk. Dari rakyat biasa, tambang dikelola siapa yang kuat.  Jalur-jalur baru dibuka.

Masalah Sosial-Lingkungan
Saya mengatakan kepada Raja Dataran Rendah Pulau Buu bahwa emas ini bisa jadi sebuah kutukan. Pak Eddy, panglima perang, putra kepala suku setuju. Ia pun menjauh dari area tambang mengurus adat. Bagaimana saudara-saudaranya? Mereka semua berlomba-lomba mengangkut tanah yang katanya mengandung emas itu. Semua orang beralih profesi menjadi pengangkut tanah. Air menjadi rebutan. Tak lagi dipakai untuk memasak, mandi atau mencuci, melainkan untuk mendulang emas.

Bahan-bahan kimia pun merusak tanah. Pohon-pohon minyak kayu putih pemberian Tuhan tak lagi diurus. Para pengepul minyak kayu putih kebingungan. Tak ada lagi yang menyuling minyak kayu putih. Bahkan sekolah-sekolah pun ditinggalkan para guru. Sekolah yang bangunannya bagus-bagus kini sepi ditinggal para guru dan murid.

Pekerja seks komersial pun berdatangan. Dan bersamaan dengan itu datanglah penyakit-penyakit menular. “Kutukan” yang dulunya saya katakan pada bapak raja mulai jelas terlihat, namun kini bapak raja hanya bisa menangis. Ikatan sosial melemah. Mereka lebih mendengarkan suara emas, dan seperti pepatah Cina di atas, manusianya diuji dengan uang.

Mengapa pemerintah pusat mendiamkan segala kerusakan ini? Bukankah sekarang emas muncul dimana-mana, dan pertambangan-pertambangan kian merusak banyak hal. Ya masalah sosial, politik, kesehatan, keamanan, ya ekonomi. Semuanya merugi. Bahkan seorang kepala dusun yang dulu menjadi panutan masyarakat desa saja kini lebih senang menjadi penambang liar. Saat anggota keluarganya terserang penyakit kaki gajah, masyarakat adat menyebutnya sebagai lepra, dan itu sudah cukup menakutkan karena lepra dianggap kutukan yang serius di masyarakat adat.

Tetapi banyak kepala dusun sudah mabuk emas. Mereka tengah bermimpi membeli mobil dan membangun rumah baru. Sayangnya uang ratusan juta yang dulu bernilai tinggi, kini tak ada artinya. Mereka hanya bisa membangun gubuk kecil yang mudah hancur diterjang gempa.

Kala pemerintah daerah gagal merespon, harus ada kekuatan yang lebih berwibawa untuk membantunya.  Ujian sudah dijalani dan banyak orang yang kalah, tetapi anak-anak tak boleh menanggung kutukan yang dilakukan orangtua mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar