Beberapa hari yang
lalu saya membaca tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Ada brigade 200K
di Pertamina” (Jawapos 25 November 2012). Yang menarik perhatian saya,
untuk menaikkan produksi minyak 200.000 barrel perhari dalam waktu 2
tahun, pertamina menurunkan generasi mudanya.
Dahlan menulis: “Brigade ini sepenuhnya terdiri dari anak muda Pertamina yang umurnya paling tinggi 29 tahun! Bahkan diantaranya ada yang umurnya 25 tahun.” Generasi baru inilah yang diberi tanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak Pertamina. Selain mereka juga ada Brigade 100K yang juga terdiri dari kaum muda yang diberi tanggung jawab lahirnya energy terbarukan (geothermal) sebesar equivalent 100.000 barrel setiap hari. Mengapa tanggungjawab ini diberikan pada kaum muda? Apakah mereka sudah cukup mampu? Sebaliknya kemana para senior mereka?
Baik brigade 100K maupun Brigade 200K adalah generasi baru Indonesia yang baru lahir pasca 1980-an. Berbeda dengan Anda pembaca, rata-rata mereka lahir dengan menggenggam mouse di tangan kanannya. Adik-adiknya bahkan lahir dengan gadget “touch screen” dengan “keypad buta, tanpa tulisan.” Mereka bisa mengirim pesan (text) SMS tanpa menoleh pada keypad itu karena jari-jarinya sudah diprogram ibundanya masing-masing saat mereka masih dalam kandungan.
Tua-Bermasalah
Di Berbagai kesempatan saya sering terkecoh menghadapi para manajer yang saya pikir lebih tua dari saya. Setelah saya manggut-manggut, belakangan baru saya tahu makin banyak orang yang wajahnya boros. Ya, maaf, wajahnya lebih tua dari umurnya. Sudah begitu, mereka mngaku menyimpan segudang masalah, mulai dari kekhawatiran terhadap kinerja (KPI) hingga masa depan anak-anaknya. Anak-anakku, ketahuilah orangtua kalian menghadapi segudang masalah. Bukan hanya kompetisi, melainkan juga kecepatan kalian mengadopsi teknologi.
Di setiap organisasi disfungsional, hampir pasti masalah banyak bertumpuk pada generasi setengah tua yang stuck di layer ke 3. CEO atau direksi umumnya punya dorongan kerja yang lumayan kuat. Eselon 1 juga relatif banyak yang baik. Nah, mereka yang terlihat lebih tua dari umurnya itu ada banyak di layer ke 3. Merasa mampu duduk di layer ke 2 atau 1, tetapi atasan dan bawahannya berkata lain. Selain menggerutu, banyak yang makin sensitive dan temperamental. Padahal untuk berprestasi mareka butuh kaum muda.
Saya tentu sangat bertanya-tanya mengapa Karen Agustiawan dan Dahlan Iskan menyerahkan kepercayaan untuk mempercepat kenaikan produksi para generasi C itu. Saya tentu cukup paham apa yang terjadi, tetapi apapun juga, ini adalah cerminan respon dari adanya generation gap.
Minggu lalu saya juga bertemu dengan CEO Pelindo 2 (Tanjung Priok), RJ Lino. Dalam sebuah forum, putra Rote itu bercerita bagaimana ia menangani generasi tua yang “menguasai organisasi”. Saya mengirim mereka ke luar negri untuk sekolah lagi,” ujarnya. Ya, satu generasi yang mungkin dapat saja dianggap “feodal” oleh generasi di bawahnya dibukakan jendelanya untuk tanggal 1-2 tahun di negeri yang pelabuhannya ramai dan modern.
“Selesai, bukan?,” Ujarnya. Ya, satu masalah lumayan diatasi. Selain memberi ruang bagi generasi yang lebih muda untuk naik ke atas tanpa diganggu, generasi yang diatasnya juga diberikan kesempatan belajar. Toh begitu kembali, masa kerjanya tidak panjang lagi. Ya paling lama, mungkin hanya 5 tahun, tetapi mereka tidak mengganggunya lagi. Mereka yang punya pengalaman belajar di luar negri sudah punya wawasan yang lebih baik, lebih pede.
Jembatani
Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan sebuah pesan bahwa alih generasi saat ini bukanlah soal alamiah lagi. “Gapantara yang tua dengan yang muda” jelas, riil, tegas, dan kalau diabaikan akan cukup mengganggu. Beda lembaga, tentu saja berbeda kultur dan climatenya.
Tetapi yang jelas ini bukan soal sederhana. Para CEO harus berpikir keras bagaimana menangani gap ini. Bisa jadi, kesulitan transformasi bermula dari soal ini, yaitu kosongnya kepemimpinan yang menjembatani generasi tua dengan generasi muda, bahkan ruwetnya masalah di layer ke 3 yang diduduki generasi lama yang menyimpan segudang persoalan
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Dahlan menulis: “Brigade ini sepenuhnya terdiri dari anak muda Pertamina yang umurnya paling tinggi 29 tahun! Bahkan diantaranya ada yang umurnya 25 tahun.” Generasi baru inilah yang diberi tanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak Pertamina. Selain mereka juga ada Brigade 100K yang juga terdiri dari kaum muda yang diberi tanggung jawab lahirnya energy terbarukan (geothermal) sebesar equivalent 100.000 barrel setiap hari. Mengapa tanggungjawab ini diberikan pada kaum muda? Apakah mereka sudah cukup mampu? Sebaliknya kemana para senior mereka?
Baik brigade 100K maupun Brigade 200K adalah generasi baru Indonesia yang baru lahir pasca 1980-an. Berbeda dengan Anda pembaca, rata-rata mereka lahir dengan menggenggam mouse di tangan kanannya. Adik-adiknya bahkan lahir dengan gadget “touch screen” dengan “keypad buta, tanpa tulisan.” Mereka bisa mengirim pesan (text) SMS tanpa menoleh pada keypad itu karena jari-jarinya sudah diprogram ibundanya masing-masing saat mereka masih dalam kandungan.
Tua-Bermasalah
Di Berbagai kesempatan saya sering terkecoh menghadapi para manajer yang saya pikir lebih tua dari saya. Setelah saya manggut-manggut, belakangan baru saya tahu makin banyak orang yang wajahnya boros. Ya, maaf, wajahnya lebih tua dari umurnya. Sudah begitu, mereka mngaku menyimpan segudang masalah, mulai dari kekhawatiran terhadap kinerja (KPI) hingga masa depan anak-anaknya. Anak-anakku, ketahuilah orangtua kalian menghadapi segudang masalah. Bukan hanya kompetisi, melainkan juga kecepatan kalian mengadopsi teknologi.
Di setiap organisasi disfungsional, hampir pasti masalah banyak bertumpuk pada generasi setengah tua yang stuck di layer ke 3. CEO atau direksi umumnya punya dorongan kerja yang lumayan kuat. Eselon 1 juga relatif banyak yang baik. Nah, mereka yang terlihat lebih tua dari umurnya itu ada banyak di layer ke 3. Merasa mampu duduk di layer ke 2 atau 1, tetapi atasan dan bawahannya berkata lain. Selain menggerutu, banyak yang makin sensitive dan temperamental. Padahal untuk berprestasi mareka butuh kaum muda.
Saya tentu sangat bertanya-tanya mengapa Karen Agustiawan dan Dahlan Iskan menyerahkan kepercayaan untuk mempercepat kenaikan produksi para generasi C itu. Saya tentu cukup paham apa yang terjadi, tetapi apapun juga, ini adalah cerminan respon dari adanya generation gap.
Minggu lalu saya juga bertemu dengan CEO Pelindo 2 (Tanjung Priok), RJ Lino. Dalam sebuah forum, putra Rote itu bercerita bagaimana ia menangani generasi tua yang “menguasai organisasi”. Saya mengirim mereka ke luar negri untuk sekolah lagi,” ujarnya. Ya, satu generasi yang mungkin dapat saja dianggap “feodal” oleh generasi di bawahnya dibukakan jendelanya untuk tanggal 1-2 tahun di negeri yang pelabuhannya ramai dan modern.
“Selesai, bukan?,” Ujarnya. Ya, satu masalah lumayan diatasi. Selain memberi ruang bagi generasi yang lebih muda untuk naik ke atas tanpa diganggu, generasi yang diatasnya juga diberikan kesempatan belajar. Toh begitu kembali, masa kerjanya tidak panjang lagi. Ya paling lama, mungkin hanya 5 tahun, tetapi mereka tidak mengganggunya lagi. Mereka yang punya pengalaman belajar di luar negri sudah punya wawasan yang lebih baik, lebih pede.
Jembatani
Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan sebuah pesan bahwa alih generasi saat ini bukanlah soal alamiah lagi. “Gapantara yang tua dengan yang muda” jelas, riil, tegas, dan kalau diabaikan akan cukup mengganggu. Beda lembaga, tentu saja berbeda kultur dan climatenya.
Tetapi yang jelas ini bukan soal sederhana. Para CEO harus berpikir keras bagaimana menangani gap ini. Bisa jadi, kesulitan transformasi bermula dari soal ini, yaitu kosongnya kepemimpinan yang menjembatani generasi tua dengan generasi muda, bahkan ruwetnya masalah di layer ke 3 yang diduduki generasi lama yang menyimpan segudang persoalan
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar