Di selatan Amerika Serikat ada sebuah kota yang terbelah dua,
dipisahkan oleh pagar kawat yang tinggi dan di atasnya berduri.
Pemisahan ini, mirip dengan pembagian dua korea yang terjadi tak lama
setelah perang dunia ke 2 berakhir. Kota itu bernama Nogales dan yang
terletak di State of Arizona, Santa Cruz County disebut Nogales -
Arizona. Nogalez - Arizona adalah wilayah Amerika Serikat. Sedangkan di
sebelah selatan kawat pemisah juga bernama Nogales, yaitu Nogales
Sonora, yang berada di bawah pemerintahan Mexico.
Nogales
Arizona dan Nogales Sonora menjadi perhatian dua profesor ekonomi, Daron
Acemoglu dan James Robinson. Sama tertariknya mereka dengan dua Korea
yang berbeda nasib, padahal keduanya berbagi alam dan budaya yang sama.
Mereka makan makanan yang sama, bernenek moyang sama, dengan DNA serupa,
mendengarkan musik yang sama, namun rezekinya kok tidak sama. Kedua
Nogales dulunya adalah jajahan Spanyol, sehingga mereka mempunyai darah
Eropa dan berbahasa Spanish. Tetapi penduduk Nogales Arizona menikmati
pendapatan / kapita USD 30.000, sedangkan Nogales Sonora hanya
sepertiganya.
Yang satu lebih banyak senyum, pendidikan
yang dapat dicapai masyarakatnya rata-rata tinggi, punya akses pada
perawatan kesehatan yang tak terbatas dan tingkat harapan hidupnya
sepuluh tahun lebih tinggi dari penduduk yang tinggal di sana. Yang satu
bebas dari kekhawatiran- kekhawatiran ekonomi atau ketakutan politik,
sedangkan yang satunya lagi penuh kekhawatiran terhadap hari ini dan
hari esok.
Hal yang sama juga terlihat antara Korea Utara dengan
Korea Selatan. Tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan keduanya berbeda
bak langit dan bumi.
Apakah yang membedakan antara keduanya?
Dunia Isolasi
Bagi
saya pengkontrasan kedua lokasi seperti itu sangat penting untuk
merefleksikan strategi pembangunan apa yang tepat untuk bangsa ini.
Peng-kontras-an adalah sebuah metode yang sering saya pakai untuk
“membantu melihat” atau membukakan mata para pemimpin agar bisa dengan
jelas “melihat yang tak terlihat” dalam melakukan change atau
transformasi. Kontras antara dua elemen -- bukan lima -- yang
disandingkan secara tegas, akan melahirkan kesadaran perbedaan yang
besar.
Sama halnya ketika kita membandingkan antara dua
calon Presiden atau dua calon Gubernur. Ini jauh lebih mudah untuk
memutuskan dari pada lima kandidat yang masing-masing diusung partai
politik utama dan partai politik pendamping yang berbeda-beda.
Rakyatnya
bingung, pemimpinnya apalagi. Jadi kontrasnya tidak ada bila tidak
fokus. “Kontras” hanya muncul bila kita kerucutkan sebuah masa depan ke
dalam dua kelompok saja, seperti pilihan antara sekarang atau masa
depan, from or to, miskin atau sejahtera dan berubah atau mati.
Pengkontrasan
dua dunia menjadi penting. Dari pengamatan itu ditemukan pemahaman
bahwa negara-negara atau daerah-daerah yang dimanajemeni dengan cara
berbeda, akan memberi hasil yang berbeda. Jadi bukan soal Leadership, melainkan manajemen untuk menghasilkan great leaders
ke atas permukaan. Bukan juga soal “alat-alat”pemberantasan kemiskinan
seperti BLT, subsidi, proyek-proyek PNPM atau desa mandiri energi -
melainkan bagaimana semua itu dikelola, dimanajemeni. Manajemen itu
ditentukan oleh sistem politik yang dibangun suatu bangsa yang
memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin besar, dan memungkinkan
“koboi-koboi politik” yang telah melukai hati rakyat tidak terpilih
kembali.
Jadi ada dunia yang terisolasi, yang selama
bertahun-tahun hanya heboh mengganti-ganti rezim namun rakyatnya tetap
miskin. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena sistem politik dan
manajemennya tidak berubah. Kita di sini sudah mengalami pergantian yang
revolusioner dari kekuasaan sentralistik kekekuatan reformatif, tetapi
sistem politiknya tetap sama, dari sistem yang korup, ke sistem yang
mungkin lebih korup.
World 0.0 dan World 1.0
Pankaj
Ghemawat menjelaskan dunia telah beralih dalam proses evolusi yang
panjang dari World 0.0 yang level hidupnya penuh keterbatasan ke dunia
3.0 yang serba kompetitif. World 0.0, sama seperti kehidupan masyarakat
adat di desa Waeapo Pulau Buru yang sebagian kaum wanitanya bahkan belum
mengenal pembalut, dan kaum prianya masih mengunyah sirih dan biji
pinang. Berbekal tombak dengan dua buah parang di pinggang. Berkebun
cokelat tetapi tak mengenal cangkul.
World 0.0 yang saya
geluti adalah dunia yang dikelola kelompok-kelompok adat kecil, dengan
50-75 kepala keluarga di setiap desa, dan membentuk sebuah masyarakat
adat di bawah kepemimpinan karismatik seorang raja yang membawahi ribuan
hektar tanah adat dengan sekitar seribu kepala keluarga.
Dunia
0.0, kata Pankaj adalah dunia subsistem, dan tak mengenal polisi. Tak
ada yang dilaporkan kalau ada "koboi" dari luar yang
mengacung-ngacungkan pistol. Tentu mereka tidak bebas dari ancaman,
kalau sewaktu-waktu mendapat serangan. Maka setiap pria di dataran
Waeapo membawa parang berukir kemanapun pergi sebagai senjata.
Oleh karena itulah Dunia 0.0 berevolusi membentuk a nation state, sebuah
kesatuan teritorial yang dijaga undang-undang, teritori, tentara dan
armada-armadanya. Dunia 1.0, bagi Pankaj adalah dunia yang dibentuk oleh
spirit nasionalisme. Tentara dan birokrat, national border
dan tentu saja partai-partai yang berbasiskan spirit nasionalisme. Cara
berpikirnya adalah cara berpikir proteksionis dan diperkuat adalah
negara. Peran negara yang besar dan kuat.
Celakanya Dunia 1.0
tidak bebas dari gempuran luar. Sejak Columbus berkelana, bangsa-bangsa
Barat menggempur kawasan-kawasan lain menjadi "pasar" sekaligus sebagai
koloni bahan-bahan baku. Dunia 2.0 bertarung melawan Dunia 1.0 sampai
terbentuk kompromi-kompromi yang terlihat lebih damai. Dunia 2.0 adalah
sebuah awal bagi proses globalisasi.
Dunia ini menjadi
membingungkan karena sebagian dari kita masih tinggal secara fisik,
bahkan secara pikiran, di World 0.0, dan sebagian sudah berada di Dunia
2.0. Tetapi banyak juga orang yang sudah secara fisik tinggal di Dunia
2.0, namun pikirannya masih berada di Dunia 1.0.
Dunia 1.0
adalah perekonomian yang mengagung-agungkan peran negara, subsidi dan
pegawai negeri yang uang belanjanya besar dan gemuk. Sedangkan Dunia 2.0
adalah dunia ekspansionis yang menuntut peran swasta yang besar, peran
negara yang terbatas, dan tak terkekang dengan birokrasi. Sedangkan
Dunia 0.0 adalah dunia yang membutuhkan uluran tangan, dengan gedung
sekolah yang hampir ambruk, kandang sapi menyatu dengan ruang tamu, dan
rumah tanpa listrik, jalan tanpa aspal, bahkan kaki tanpa alas sepatu.
Sampai
sekarang tampaknya negara-negara sejahtera sendiri sudah meninggalkan
cara berpikir World 1.0 yang menghasilkan birokrasi yang tidak efisien
dan politik yang kumuh menjadi World 3.0 yang lebih modern. World 3.0 melihat kepentingan nasional bukan dari eksplotasi sumber daya alam, melainkan kekuatan modal manusia (human capital) yang inklusif, multi racial, berbasiskan ilmu pengetahuan dan mengeksplorasi alam semesta dengan pemikiran-pemikiran baru.
Yang
satu mengagung-agungkan pasar dan peran swasta, yang satunya masih
mengagung-agungkan peran teritorial dan negara. Yang satu
berteriak-teriak kebebasan, yang satunya lagi anti globalisasi. Itu
sebabnya kita tidak pernah tuntas, semua bertarung di dalam, membuat
dinding-dinding pertahanan mudah berlubang dan masuk angin. Jadi apa
yang harus diperbuat dengan logika gado-gado yang tak bermuara pada
konsensus?
Saya dan Anda tentu punya pilihan, namun
pilihan yang tak bermuara pada konsensus hanya akan membuat Indonesia
berada di seberang pagar garis kesejahteraan. Sementara di seberang
pagar ada Malaysia, Singapura, Thailand dan China yang memilih hidup di
Dunia 3.0. Persis seperti Nogales yang terbelah pagar kawat berduri,
antara Nogales-Arizona dan Nogales Sonora. Janganlah Indonesia menjadi
Sonora, sedangkan Arizonanya dinikmati kapitalis seberang yang memiliki
jaringan perbankan, telekomunikasi, dan perkebunan-perkebunan di sini,
yang dulu milik kita sendiri.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar