Laman

Selasa, 05 Juni 2012

Inklusivitas

Mungkinkah orang-orang Indonesia menjadi Asteroidpreneur seperti yang saya ulas minggu lalu?
Ketika ekonomi China berjaya, bukan hanya orang-orang Amerika dan Eropa yang “terperangkap” oleh sinarnya. Pengusaha-pengusaha asal Jepang, Korea, bahkan “lawan” psikologisnya, Taiwan juga ingin berinvestasi di sana. Dengan metode Guang Xi, jaringan kedaerahan dan kesukuan, bahkan pengusaha keturunan asal Indonesia juga berinvestasi dan memindahkan sekolah anak-anaknya ke China.

China adalah magnet, sekaligus masa depan. Banyak orang percaya China akan menggantikan peran Amerika Serikat sebagai penguasa dunia. Sama seperti ucapan banyak orang terhadap Jepang sekitar 25 tahun yang silam. Dan saya menduga, pandangan ini kemungkinan akan bernasib sama seperti Jepang ketika Kaname Akatmatsu mengulas paradigma angsa terbang (the flying geese paradigm) dengan Jepang sebagai pemimpinnya di Asia.

Angsa-angsa yang berada di depan selalu diikuti angsa-angsa lain kemanapun ia pergi. Ia menjadi navigator. Tetapi dalam perjalanannya ternyata tak banyak angsa yang bisa terus berada di depan. Ia bisa goyah dan gundah sehingga kedudukannya diganti yang lain.

Begitu halnya dengan Jepang dan China yang kini sedang bergulat menghadapi “kembalinya” kepemimpinan Amerika Serikat dengan energy murah (khususnya shale gas, yang di fraktur dari batu-batu di perut bumi , dan biayanya hanya seperempat dari gas-gas alam asal Qatar atau Indonesia).
Untuk menjadi pemimpin angsa terbang diperlukan Asteroidpreneur, bukan sekedar UKM-Preneur, apalagi kalau hanya coba-coba dan hanya bergelut di bidang usaha yang mudah-mudah saja dengan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Kapan menjadi industrinya?

UKM dan Motivator
Salah satu ciri negara yang angsa-angsanya cuma ikut-ikutan terbang adalah pengusahanya kesulitan melompat. Usaha-usaha mikronya terbelengguseperti burung dara yang sayap-sayapnya di jahit. Supaya bisa terbang tinggi, tentu saja belenggu-belenggu itu harus di lepas.

Sejak krisis moneter menghantam Indonesia 15 tahun yang lalu, kita menaruh harapan pada UMKM. Jumlahnya terus meningkat, dari 51,5 juta (2010) menjadi 54,5 juta tahun ini. Tetapi di lain pihak gairah berindustri turun drastis. Tak ada lagi orang-orang seperti Sukanto Tanoto yang di awal tahun 1980-an berani membangun industri pulp and paper. Semua anak-anak muda cuma asyik membuat roti, kue, burger, lele, ikan bakar dan warung gerobak yang di grobak-chise kan.

Bisa diduga kemana muaranya para wirausahawan seperti ini. Ketika jenuh, mereka beralih menjadi motivator atau pembicara UKM. Modalnya apalagi kalau bukan spirit Robert Kyosaki yang mengajarkan “bagaimana menjadi orang kaya”. Tak sedikit pula yang menanamkan cara-cara pemasaran bombastis atau cara-cara spiritual. Kata seorang industrialis, perlu dibedakan benar-benar mana yang merupakan hasil dari suatu percobaan dengan coba-coba. Kelihatannya, lebih banyak yang iseng dengan coba-coba, bukan kesungguhan yang didasarkan bukti-bukti empiris yang dapat digeneralisasikan. Dan tentu saja, bisnis seperti ini lebih banyak hit and run. Tapi tak apa, sepanjang order sebagai motivator masih bisa jalan terus, bukan?

Kita memerlukan UKM untuk menyelamatkan pengangguran, namun untuk memajukan bangsa, negeri ini juga bentuk industri-industri besar yang dibangun berbasiskan pengetahuan, sophisticated management dan profesionalisme. Indonesia butuh banyak pesawat-pesawat kecil yang bisa menembus daerah-daerah pedalaman seperti yang dilakukan Ibu Susi Pujiastuti (Susi Air) atau kapal-kapal penjelajah berbobot ringan yang dibuat dari teknologi material komposit yang dibuat Lisa Lundin di Banyuwangi.

Kita memerlukan UMKM untuk membuat desain-desain baju dan keperluan konsumsi ringan, tetapi untuk membuat energy dan otomotif diperlukan usaha-usaha besar. Usaha-usaha besar adalah lokomotif untuk menarik usaha-usaha kecil.

Inklusivitas
Apa yang membuat anak-anak Amerika bisa menambang di Asteroid sementara kita sibuk melobi Bupati untuk menambang perut bumi? Ekonom MIT, Daron Acemoglu, bersama James A Robinson (Harvard) mencari jawabannya. Dalam buku barunya (Why Nations Failed)  yang saya jadikan bacaan wajib di program doktoral di UI, diungkapkan pentingnya spirit inklusivitas.

Dugaan saya, bangkit kembalinya Amerika bukan karena tangible assets atau kekayaan alamnya. Ketika Inggris masuk ke Benua Amerika pada abad ke 16 (yang kelak menjadi Amerika Serikat) bukanlah karena negeri ini kaya hasil bumi seperti yang dikuasai Spanyol atau Portugis. Melainkan karena hanya itulah yang tertinggal.

Amerika menjadi bangsa besar justru karena prinsip inklusivitas. Abraham Lincoln menghapuskan perbudakan, Luther King menghancurkan segregasi warna kulit. Selera-selera picik terhadap superioritas ras, agama, atau kelompok-kelompok disingkirkan demi penghargaan pada kesamaan hak. Jangankan diskriminasi terhadap ras, terhadap gender saja bisa menjadi masalah besar.

Dengan prinsip-prinsip itulah orang-orang pintar dari mancanegara pindah ke Amerika Serikat. Mereka bisa kuliah dengan tenang dan menjadi ilmuwan-ilmuwan terpandang. Ada kemerdekaan hakiki yang dirasakan, tatapi begitu seseorang mengeluarkan ancaman pada orang lain, hukum selalu ditegakan.
Karena itulah banyak anak-anak pintar Indonesia yang tidak pulang mengabdi disini. Seperti ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saya temui di Silicon Valley yang hidup tenang bersama dengan anak-anaknya yang sudah mulai berkuliah di kampus-kampus terkenal. Mereka diperlakukan sama dengan orang-orang cerdas lainnya yang datang dari India, Pakistan, Iran, China, Korea, Rusia, Canada dan sebagainya.

Cara ini sepertinya tengah di terapkan pemerintah Singapura yang dulu diduga mempunyai selera ”etnik” terhadap para pelajar berprestasi kaum keturunan Tionghoa di Asia Tenggara. Singapura kini mulai membidik anak-anak pandai dari berbagai etnik, termasuk dari Indonesia. Tak mengherankan tak lama lagi mereka akan menjadi negeri yang tak kalah hebat dari China dan Amerika.

Lantas apa yang akan dilakukan oleh para UKMpreneur Indonesia?  Menurut hemat saya, ini lah saatnya anak-anak muda beralih dari UKM menjai industi.  Dan untuk itu prinsip inkluivitas perlu dibangun.  Ayo melompatlah! Jadilah Asteroidpreneur, jangan berpuas diri!

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar